Hal ini terlihat semakin jelas di babak kedua, yang mana pola serangannya sangat monoton dengan mengandalkan akselerasi Mbappe atau Neymar di sisi kiri. Belum lagi ditambah dengan Kurzawa.
Artinya, pola serangan PSG berat sebelah. Hal ini juga sebenarnya sudah terlihat di babak pertama, tapi peran Angel Di Maria masih cukup terlihat.
Bruno Fernandes pun tidak jarang untuk membantu menutup celah di sisi kanan. Namun, anehnya PSG tetap berupaya menerobos sisi kiri.
Melihat kebebalan strategi bermain PSG ini, seolah mereka menganggap Manchester United seperti klub mayoritas di Prancis yang masih mudah ditaklukkan dengan akselerasi individu. Padahal, sekomedi-komedinya Manchester United di EPL, seharusnya PSG tetap menganggap mereka sebagai rival kuat--yang tentu seharusnya lebih tangguh dari kontestan Ligue 1.
Sebenarnya jika ditarik mundur ke musim lalu, permainan PSG sedikit mirip seperti ini. Hanya, mereka mampu beradaptasi dengan cepat untuk setara dengan level permainan yang sesungguhnya demi menuju final.
Buktinya ada di laga melawan Atalanta. Itu adalah proses perjuangan para pemain PSG untuk sadar bahwa pola permainan mereka harus berubah untuk mencapai hasil yang lebih baik daripada di level domestik.
Secara skor, PSG memang sebenarnya tidak perlu mencetak banyak gol seperti saat berlaga di Ligue 1. Mereka hanya perlu bermain kolektif dan efektif. Jika itu dilakukan, mereka pasti akan mampu bermain lebih baik sesuai dengan kualitas para pemainnya yang mentereng.
Bagaimana dengan Manchester United?
Faktor besar yang dibuat Manchester United di laga ini ada 3. Peran Bruno, kerja keras para pemain saat bertahan, dan sistem kerja pembuktian ala Ole Gunnar Solskjaer.