Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Menanggapi Kejadian Aguero dan Sian Massey-Ellis

20 Oktober 2020   15:49 Diperbarui: 20 Oktober 2020   17:03 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Episode Hitam Putih 25 Juli 2017. Gambar: Youtube/Trans7 Official

Jagat sepak bola Inggris sedang dihebohkan dengan sebuah aksi dari Sergio Aguero, penyerang Manchester City terhadap hakim garis dua, Sian Ellis-Massey. Itu terjadi pada laga antara Manchester City vs Arsenal yang berakhir dengan skor 1-0 untuk kemenangan tuan rumah.

Pada laga itu, Aguero berhasil comeback setelah beberapa absen. Namun, dia tidak menandai laga pertamanya di musim 2020/21 dengan gol, melainkan sebuah aksi protes terhadap keputusan hakim garis yang tidak memberikan lemparan ke dalam untuk timnya.

Bagai asap yang tidak akan muncul jika tidak ada api, maka aksi protes itu juga pasti tidak akan muncul jika Aguero tidak merasa dirugikan. Namun, di sisi lain gerakan tangan ke pundak si hakim garis tersebut sangat tidak perlu.

Baca juga: Dalam Kacamata Seksisme (Gilang Dejan)

Saya yakin, Aguero tidak akan melakukannya jika si hakim garis bukan Sian Massey. Bukan berarti saya mengambil sudut pandang seksisme, tetapi itu saya duga berdasarkan postur tubuh.

Bukan pula bermaksud melakukan body shaming kepada Aguero, tetapi saya pikir Aguero tidak akan sedominan itu ketika dia bertemu dengan sosok yang bisa lebih tinggi atau lebih besar darinya. Artinya, saya berpikir bahwa ini adalah tindakan yang spontanitas, namun berdasarkan postur tubuh.

Menurut sepengetahuan saya, ketika ada seseorang yang posturnya lebih pendek dari orang lain, ia akan sedikit/banyak merasa terintimidasi. Perasaan itu biasanya muncul secara spontan, walau pada akhirnya bisa disikapi secara positif.

Jika orang tersebut berusaha melawan perasaan itu dengan berpikir positif, maka ia tidak akan insecure. Namun, tidak menutup kemungkinan akan ada yang semakin minder.

Lalu, bagaimana dengan orang yang posturnya lebih tinggi?

Tentu saja kebalikan dari orang sebelumnya. Ia akan semakin percaya diri jika lebih besar atau fisiknya lebih ideal dibanding orang lain.

Bisa saja, menurut orang tersebut, ia hanya berupaya membangun rasa percaya diri. Tetapi, bagi orang lain bisa menangkapnya dengan pemikiran berbeda. Salah satunya adalah intimidasi.

Saya pernah menemukan ungkapan perasaan dari seorang figur publik bernama Deddy Corbuzier. Tentu kita tahu, bahwa ia memiliki postur tinggi dan besar. Nyaris setiap episode di acara talkshow yang ia pandu, jarang ada bintang tamu yang posturnya sama atau lebih tinggi darinya.

Biasanya sosok-sosok atlet atau model dan aktor-aktor yang memiliki postur tinggi yang bisa menyamainya. Namun, jika yang datang dari kalangan masyarakat umum, penampakan itu jarang terjadi. Itu yang membuatnya tidak tahu bagaimana rasanya kalau bertemu dengan orang yang lebih tinggi darinya.

Episode Hitam Putih 25 Juli 2017. Gambar: Youtube/Trans7 Official
Episode Hitam Putih 25 Juli 2017. Gambar: Youtube/Trans7 Official
Pada suatu episode, ia bertemu dengan bintang tamu seorang remaja yang memiliki tinggi sekitar 190-an lebih. Deddy Corbuzier pun diminta untuk berdiri sejajar dengan remaja itu.

Saat momen itulah, ia mengatakan bahwa ternyata bertemu dengan orang yang lebih tinggi perasaannya tidak enak. Seperti terintimidasi.

Lalu, apa korelasinya dengan kejadian Aguero dan Sian Massey? Perasaan dan postur.

Pada sepak bola, permainan itu tersaji tidak hanya melibatkan taktik dan kemampuan dalam bermain sepak bola, tetapi juga perasaan. Tidak jarang ketika gagal mencetak gol, si pemain berteriak kesal atau tertunduk lesu. Begitu juga kalau berhasil mencetak gol, akan muncul luapan bahagia.

Contoh pemain yang kesal atau kecewa. Gambar: Reuters/Jorge Silva via Cnnindonesia.com
Contoh pemain yang kesal atau kecewa. Gambar: Reuters/Jorge Silva via Cnnindonesia.com
Perasaan itu juga hadir ketika timnya gagal membuat lawan kocar-kacir, atau melihat papan skor masih belum aman. Maka, muncullah trik-trik atau perdebatan jika ada keputusan-keputusan dari official yang dianggap merugikan timnya.

Hal semacam ini sudah biasa terjadi di sepak bola. Tidak jarang pemain yang mulai kehilangan kendali terhadap emosinya akan melalukan tindakan provokatif.

Contoh pemain bertepuk tangan secara sarkastis dalam merespon keputusan wasit. Gambar: via Detik.com
Contoh pemain bertepuk tangan secara sarkastis dalam merespon keputusan wasit. Gambar: via Detik.com
Misalnya, dengan melakukan tepuk tangan di depan si wasit atau official lainnya. Biasanya ini dilakukan jika sudah tidak mampu mengontrol emosi, tapi di sisi lain ingin menghindari sanksi dari federasi.

Salah satu sanksi yang bisa diberikan kepada pemain adalah ketika ia melakukan sentuhan kepada official dan itu cukup mengancam keselamatan official. Jika official merasa tindakan itu berbahaya, ia bisa mengeluarkan kartu atau juga melaporkan ke badan pengawas atau federasi.

Berdasarkan itu, tentu pemain berupaya untuk meminimalisir adanya sanksi jika itu sangat merugikan timnya. Namun, berhubung sulit mengontrol emosi dan sulit beradu argumentasi, maka tindakan tepuk tangan itu biasanya dipilih.

Tindakan tersebut juga bisa dihubungkan dengan postur. Bagaimana?

Ketika official posturnya rata-rata atau malah sama-sama prima seperti para pemain, maka official tersebut akan jarang mendapatkan ancaman dengan sentuhan. Peluang itu sangat kecil dibandingkan jika si official (maaf) lebih pendek atau terlihat lebih lemah.

Jika seperti itu, tidak menutup kemungkinan ia akan sering mendapatkan protes lebih dekat jika memang si pemain sedang merasa tidak nyaman dengan pertandingannya. Hal ini saya duga seperti yang dialami Aguero.

Kejadian awal alias pemicunya. Gambar: via Dailymail.co.uk
Kejadian awal alias pemicunya. Gambar: via Dailymail.co.uk
Aguero awalnya berargumentasi. Gambar: NMC Pool/Richard Pelham via Theguardian.com
Aguero awalnya berargumentasi. Gambar: NMC Pool/Richard Pelham via Theguardian.com
Sebagai pemain lama Manchester City yang artinya sudah sering bertemu dengan Arsenal, maka ia tahu bahwa klubnya lebih superior dibandingkan Arsenal. Terbukti, dalam beberapa pertemuan sebelumnya, Manchester City mampu sering menang dengan skor identik 3-0.

Namun, kali ini Aguero tidak menemukan tanda-tanda superioritas klubnya. Organisasi permainan Arsenal ternyata sudah lebih baik, khususnya di lini pertahanan.

Sebagai penyerang, ia tentu merasa ini bukan hari yang indah untuk memberikan laporan kepada klubnya layaknya pegawai kantoran yang membuat report hasil kerja. Akibatnya, ia seperti yang terjadi pada adegan emosional dengan Sian Massey.

Tampak dari dekat. Gambar: Premier League via Metro.co.uk
Tampak dari dekat. Gambar: Premier League via Metro.co.uk
Itu adalah adegan biasa dan pasti berdasarkan perasaannya. Namun, berhubung ia melihat sosok Sian lebih kecil darinya, secara refleks dia merasa lebih kuat dan ingin menunjukkannya.

Pikiran refleks ini seperti yang dipikirkan terkait postur tadi. Ketika si A lebih pendek, ia akan berpikir refleks seperti berkurang rasa kepercayaan dirinya. Sebaliknya, si B yang lebih tinggi akan secara refleks menemukan kepercayaan dirinya.

Hal ini juga saya pikir menjadi landasan dari kejadian yang melibatkan Aguero dan Sian. Saya pikir permasalahannya lebih ke perasaan dan postur yang mampu mendorong terciptanya refleks baik di pikiran maupun dalam tindakan.

Lalu, di manakah saya berpihak?

Dilihat dari depan. Gambar: Skysports.com
Dilihat dari depan. Gambar: Skysports.com
Saya sebenarnya berpihak pada Sian secara mutlak. Namun, jika saya adalah Sian, maka saya juga akan memaafkan tindakan Aguero, berdasarkan pertimbangan faktor sulitnya mengontrol perasaan dalam pertandingan yang berjalan seperti laga tersebut. Hanya, saya secara pribadi juga berharap, bahwa kejadian ini tidak terulang lagi di kemudian hari.

Sudah tidak zamannya memandang sebuah profesi dengan kacamata jenis kelamin dan gender. Superhero saja sudah banyak yang perempuan, dan mereka juga tidak kalah kuat--di filmnya--dan tenar jika disandingkan dengan superhero laki-laki.

Begitu pula dalam hal perwasitan. Wasit laki-laki yang kontroversial saja banyaknya minta ampun. Padahal, mereka bisa saja dianggap paling kompeten dalam menjalankan tugas itu, ditambah dengan badge FIFA di dada kanannya.

Kacamata itu seharusnya berlaku pula saat melihat wasit/official perempuan, sekaliber FIFA sudah pasti berkompeten. Tetapi, juga pasti akan ada celahnya. Hanya, bukan karena mereka perempuan, melainkan karena faktor lainnya, yang mana itu juga terjadi pada wasit kontroversi laki-laki.

Apa itu? Silakan tebak sendiri, ya!

~

Malang, 20-10-2020

Deddy Husein S.

Terkait:

Theguardian.com, Skysports.com, Metro.co.uk, Dailymail.co.uk, Repository.usd.ac.id, Detik.com, Medcom.id.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun