Ketika official posturnya rata-rata atau malah sama-sama prima seperti para pemain, maka official tersebut akan jarang mendapatkan ancaman dengan sentuhan. Peluang itu sangat kecil dibandingkan jika si official (maaf) lebih pendek atau terlihat lebih lemah.
Jika seperti itu, tidak menutup kemungkinan ia akan sering mendapatkan protes lebih dekat jika memang si pemain sedang merasa tidak nyaman dengan pertandingannya. Hal ini saya duga seperti yang dialami Aguero.
Namun, kali ini Aguero tidak menemukan tanda-tanda superioritas klubnya. Organisasi permainan Arsenal ternyata sudah lebih baik, khususnya di lini pertahanan.
Sebagai penyerang, ia tentu merasa ini bukan hari yang indah untuk memberikan laporan kepada klubnya layaknya pegawai kantoran yang membuat report hasil kerja. Akibatnya, ia seperti yang terjadi pada adegan emosional dengan Sian Massey.
Pikiran refleks ini seperti yang dipikirkan terkait postur tadi. Ketika si A lebih pendek, ia akan berpikir refleks seperti berkurang rasa kepercayaan dirinya. Sebaliknya, si B yang lebih tinggi akan secara refleks menemukan kepercayaan dirinya.
Hal ini juga saya pikir menjadi landasan dari kejadian yang melibatkan Aguero dan Sian. Saya pikir permasalahannya lebih ke perasaan dan postur yang mampu mendorong terciptanya refleks baik di pikiran maupun dalam tindakan.
Lalu, di manakah saya berpihak?
Sudah tidak zamannya memandang sebuah profesi dengan kacamata jenis kelamin dan gender. Superhero saja sudah banyak yang perempuan, dan mereka juga tidak kalah kuat--di filmnya--dan tenar jika disandingkan dengan superhero laki-laki.