Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Inilah 7 Pemain yang Masih Diandalkan Timnasnya

17 Oktober 2020   12:18 Diperbarui: 18 Oktober 2020   09:34 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skuad Argentina saat bertandang ke markas Bolivia (14/10). Gambar: Google/BoliviavsArgentina

Berbicara tentang sepak bola tidak akan lepas dari pertandingan level klub dan tim nasional (timnas). Kini, pertandingan sepak bola juga semakin intensif di level timnas, seperti dengan adanya UEFA Nations League untuk menyajikan pertarungan timnas dari zona Eropa.

Keberadaan ajang tersebut, membuat para pemain dari Eropa tidak hanya berkutat pada persaingan sengit di level klub, tapi juga di level timnas. Hal ini lebih terasa ketika UEFA membuat liga antarnegara tersebut.

Sedangkan di zona lain, seperti Amerika Selatan (CONMEBOL), Amerika Utara (CONCACAF), Asia (AFC), dan lainnya masih memiliki jadwal padat seperti kualifikasi Piala Dunia. Ajang ini selalu hadir dengan memanfaatkan kalender FIFA.

Bagi yang tidak mengikuti atau tersisih cepat dari ajang tersebut, juga bisa memanfaatkan jadwal tersebut untuk mengadakan pertandingan persahabatan. Itu sangat berguna untuk mencari poin untuk peringkat FIFA yang biasanya diperbaharui tiap bulan.

Lalu, jika membicarakan tentang pertandingan timnas, maka tidak bisa lepas pula dari kabar-kabar pemanggilan pemainnya. Biasanya pemanggilan pemain untuk timnas sangat berkaitan dengan performa pemain di level klub.

Semakin sering bermain dan konsisten di performa yang bagus, maka peluang dipanggil timnas akan terbuka. Begitu pun jika si pemain berhasil direkrut dan bermain di klub besar. Peluangnya juga besar untuk dipanggil timnas.

Namun, jika merujuk pada tujuh nama yang dihimpun di dalam tulisan ini, tidak semua pemain tersebut dipanggil timnasnya berdasarkan dua faktor mendasar tersebut.

Mereka malah ada yang terlihat hanya bermodalkan pengalaman saja. Atau, nama klub yang dibelanya saja. Hingga faktor--masih ada--kepercayaan dan kebutuhan pelatihnya.

Siapa saja mereka?

Paul Pogba
Sebenarnya pemain ini memenuhi dua persyaratan mendasar dari pemanggilan timnas tersebut. Namun, dalam beberapa waktu terakhir ini Pogba memiliki satu permasalahan, yaitu konsistensi terhadap penampilannya.

Hal ini terlihat saat ia berada di Manchester United di musim kompetisi 2019/20 dan awal musim 2020/21. Jika dibandingkan dengan performanya di Juventus, Pogba yang di Old Trafford seperti berbeda dengan Pogba di Turin.

Entah, apa penyebab yang membuat hal itu berbeda. Satu hal yang pasti, performanya di Manchester United akhir-akhir ini lebih akrab dengan kritikan dibandingkan pujian.

Pogba terlihat tampil prima saat Prancis bersua Portugal (11/10). Gambar: Twitter/UEFANationsLeague
Pogba terlihat tampil prima saat Prancis bersua Portugal (11/10). Gambar: Twitter/UEFANationsLeague
Namun, apa yang terjadi pada Pogba seperti tidak mempengaruhi keputusan Didier Deschamps untuk memanggilnya. Terbukti di dalam beberapa pertandingan timnas Prancis di bulan Oktober ini, Pogba mendapat kesempatan bermain.

Apakah keputusan Deschamps salah? Nyatanya tidak, karena pada salah satu pertandingan timnas Prancis, yaitu saat melawan timnas Portugal, Pogba bermain cukup bagus. Ia mampu menjalankan peran sebagai gelandang box to box dengan baik.

Olivier Giroud
Satu nama lainnya dari timnas Prancis adalah Giroud. Pemakai nomor 9 di timnas Prancis itu awalnya sering dipanggil timnas karena performanya di klub seperti Arsenal dan Montpellier terlihat meyakinkan.

Namun seiring berjalannya waktu, porsi bermainnya di klub berkurang. Ini juga mempengaruhi produktivitasnya, hingga tanda tanya tentang kepantasannya masih membela timnas Prancis sampai 2020 ini.

Walau demikian, Giroud rupanya memenuhi klasifikasi kebutuhan Didier Deschamps. Itulah mengapa, Deschamps tidak segan untuk mengabaikan Alexandre Lacazette, meski si pemain pernah sangat buas di Olympique Lyon.

Begitu pun saat Giroud dan Lacazette menjadi rekan setim di Arsenal, Deschamps tetap memilih Giroud sebagai salah satu pilar penting untuk menggapai trofi Piala Dunia 2018. Giroud memang sama sekali tidak mencetak gol di turnamen itu, tetapi perannya di lini depan Les Blues tidak mengecewakan Deschamps.

Giroud berduet dengan Mbappe di laga menjamu Portugal (12/10). Gambar: Google/PrancisvsPortugal
Giroud berduet dengan Mbappe di laga menjamu Portugal (12/10). Gambar: Google/PrancisvsPortugal
Berdasarkan hal itu, tidak mengherankan jika Giroud masih memperoleh kepercayaan dari Deschamps di timnas Prancis. Suatu keputusan yang menarik dilakukan Deschamps, karena ia berani mempercayai pemain yang struggled di level klub. Salah satunya adalah Giroud.

Christian Eriksen
Pemain ini sebenarnya adalah permata yang berharga di Tottenham Hotspur. Namun, sayangnya ia harus tersisih dari skuad tersebut setelah kursi kepelatihan diambil alih oleh Jose Mourinho.

Eriksen kemudian berlabuh ke Inter Milan. Suatu kabar bahagia bagi penggemar Inter Milan, karena ada pemain bertipe playmaker ulung sekelas Eriksen.

Namun, kehadirannya di Inter Milan tidak serta-merta menjadi jawaban dari kebutuhan Inter Milan yang dilatih oleh Antonio Conte. Conte rupanya terlihat tidak begitu srek dengan permainan yang ditawarkan Eriksen.

Pola permainan yang diusung Conte lebih mengandalkan penyerangan kuat di sisi sayap, lalu ditopang dengan kesolidan kerja sama bagai tembok beton di lini. Ini bisa dilihat dari agresivitas transfer Inter baik di musim 2019/20 dan 2020/21.

Pada musim 2020/21 ini Conte bahkan menegaskan orientasi permainannya dengan menumpuk banyak pemain di sektor sayap dan gelandang tipe pekerja keras. Ini membuat peran Eriksen bisa dikatakan tidak terlalu dibutuhkan.

Eriksen eksekusi penalti saat melawan timnas Inggris (15/10). Gambar: EPA-EFE/Daniel Leal Olivas via Republika.co.id
Eriksen eksekusi penalti saat melawan timnas Inggris (15/10). Gambar: EPA-EFE/Daniel Leal Olivas via Republika.co.id
Namun, di timnas Denmark Eriksen masih sangat dibutuhkan. Melalui pengalaman dan kualitasnya yang sebenarnya masih luar biasa, Denmark tidak perlu berhitung untung-rugi terhadap pemanggilan Eriksen.

Mereka jelas tidak boleh melewatkan kesempatan menikmati kontribusi dari pemain yang sekelas Eriksen. Bisa saja timnas Denmark akan sedikit kesulitan untuk menemukan lagi pemain seperti Eriksen dalam waktu dekat. Itulah mengapa, tidak mengherankan jika Eriksen masih diandalkan oleh timnasnya, meski di klub nasibnya masih penuh tanda tanya.

Ivan Perisic
Perisic adalah nama lainnya dari skuad Inter Milan yang bisa dikatakan cukup pesakitan. Meskipun ia bukanlah pemain kelas dua, tetapi ia tidak sepenuhnya mampu menyegel tempat utama di Inter Milan.

Hal ini diperparah dengan kedatangan Antonio Conte yang menggantikan peran Luciano Spalletti sebagai pelatih Inter. Conte yang sebenarnya menyukai pemain-pemain sayap yang berkualitas dan tajam, ternyata memilih tidak memasukkan nama Perisic di skuad 2019/20.

Perisic dipinjamkan ke Bayern Munchen, dan menariknya di klub tersebut Perisic memperoleh treble winners. Suatu ironi, ketika di waktu yang sama Inter malah gagal meraih gelar di semua ajang.

Meskipun cukup berhasil di Munchen, Perisic tidak dipermanenkan dan harus kembali ke Inter Milan. Ia pun harus bekerja keras untuk memperoleh tempat di sana, karena posisi favoritnya di sektor sayap sudah dihuni pemain-pemain yang tak kalah berkualitas.

Sebelum Perisic pulang, Inter sudah memperkuat sektor sayap dengan pemain yang tidak perlu diragukan lagi. Berhubung Conte gemar menggunakan formasi 3-5-2, maka sektor sayap dimainkan oleh wing back.

Posisi itu biasanya diisi oleh D'Ambrosio dan Young. Terkadang, Sanchez juga mengisi posisi itu jika Conte ingin mempertahankan duo Lukaku-Martinez di depan, dan posisi pemain tengah menyerang masih diisi antara Barella, Sensi, Borja Valero--sekarang sudah pindah, atau Eriksen yang masuk di babak kedua.

Melihat kebiasaan itu, Conte sepertinya tidak terlalu membutuhkan Perisic. Hal ini dipertegas dengan kedatangan Aleksandar Kolarov dan Matteo Darmian--bisa di bek juga. Dua pemain ini bisa menjadi pengisi sektor sayap.

Namun, kegagalan Inter mencari peminat Perisic membuat si pemain masih bertahan di Giuseppe Meazza. Hal ini pula membuat Conte mau tidak mau menempatkan Perisic sebagai wing back.

Saat seperti itu, Perisic diprediksi tidak akan sepenuhnya dapat menyegel tempat di skuad utama. Ia pasti akan memperoleh kebijakan rotasi.

Itulah yang membuat menit bermain Perisic di level klub menjadi tidak banyak. Suatu sinyal bahaya bagi pemain yang biasanya diharapkan rutin bermain agar selalu cepat padu dengan atmosfer persaingan sengit nan singkat di level timnas.

Namun, apa yang terjadi pada Perisic di level klub rupanya masih dimaklumi oleh timnas Kroasia. Hal ini seperti yang terjadi pada Eriksen dengan timnas Denmark. Kroasia pun masih membutuhkan jasa Perisic.

Skuad Kroasi vs Prancis (15/10). Gambar: Google/KroasiavsPrancis
Skuad Kroasi vs Prancis (15/10). Gambar: Google/KroasiavsPrancis
Hal ini juga ditambah dengan faktor pengalaman Perisic yang membuat posisinya di timnas masih krusial. Ia bahkan menjadi salah satu kapten timnas Kroasia ketika Luka Modric dan Ivan Rakitic tidak bermain.

Artinya, Perisic masih dibutuhkan timnas Kroasia, setidaknya dalam waktu dekat ini. Namun, sebagai pemain papan atas, sebaiknya Perisic juga dapat memiliki menit bermain yang sesuai dengan kualitasnya.

Xherdan Shaqiri
Shaqiri sebenarnya bukan pemain yang buruk. Tetapi, ia terlihat sulit menyegel tempat di tim utama ketika membela klub besar.

Sebelum menjadi pemain yang kurang diandalkan di Liverpool, ia juga tersingkirkan dari tim utama Inter Milan. Ia baru terlihat mencolok ketika membela klub Inggris, Stoke City.

Bersama Stoke, ia seperti memperoleh kesempatan kedua untuk mengembalikan reputasi sebagai pemain papan atas. Apalagi, ia masih tergolong pemain berusia emas kala itu.

Namun, ketika mendarat di Anfield Stadium, kariernya tidak menanjak. Secara prestasi klub, memang ia memperoleh penanjakan, tetapi tidak untuk pencapaian individu.

Hal ini bisa saja terjadi karena faktor persaingan dengan Sadio Mane, Mo Salah, dan Roberto Firmino. Tiga pemain itu lebih diandalkan dan lebih konsisten dibandingkan Shaqiri yang terkadang hanya efektif saat menjadi pemain pengganti.

Skuad timnas Swiss kala bermain imbang melawan Jerman (14/10). Gambar: JermanvsSwiss
Skuad timnas Swiss kala bermain imbang melawan Jerman (14/10). Gambar: JermanvsSwiss
Meski demikian, kariernya di timnas Swiss masih bisa dikatakan bagus. Bersama Granit Xhaka dkk. ia masih merupakan andalan timnas Swiss. Bahkan, permainannya cukup "eksplosif" dibandingkan saat membela Liverpool.

Patut dinantikan, apakah Shaqiri dapat memperoleh tempat (baca: klub) yang ideal untuk mengeluarkan potensinya secara konsisten. Hal ini sangat penting untuk masa depannya dan pencapaian timnas Swiss.

Nicolas Otamendi
Selain lima pesepak bola di zona Eropa tersebut, ada pula pemain dari zona Amerika Selatan yang mulai tersisih dari klubnya, namun masih cukup diandalkan di level timnas. Ia adalah Otamendi.

Bek yang awalnya sesuai kebutuhan Pep Guardiola di Manchester City, lama-kelamaan justru mulai menurun performanya. Salah satu faktor penyebabnya adalah cedera yang sering menimpa si pemain.

Selain itu, faktor usia terlihat mempengaruhi performa Otamendi. Tidak mengherankan jika kemudian Guardiola memboyong bek-bek muda seperti Aymeric Laporte, Eric Garcia, hingga Ruben Dias.

Bahkan, sebelumnya Manchester City pernah mendatangkan Eliaquim Mangala--sekarang di Valencia, lalu ada John Stones untuk memperkuat barisan pertahanannya. Namun, saat dua pemain tersebut tidak menunjukkan performa yang bagus, Otamendi masih diandalkan.

Hanya, waktu seperti berjalan lebih cepat untuk Otamendi. Persaingan klub-klub di papan atas baik Premier League (EPL) dan Liga Champions (UCL), seperti telah membuat Otamendi terlihat kedodoran. Ia pun kini harus "menepi" ke Benfica.

Skuad Argentina saat bertandang ke markas Bolivia (14/10). Gambar: Google/BoliviavsArgentina
Skuad Argentina saat bertandang ke markas Bolivia (14/10). Gambar: Google/BoliviavsArgentina
Meskipun kariernya di level klub mulai menurun, panggilan ke timnas Argentina masih ada. Faktor pengalaman sepertinya membuat Otamendi masih diandalkan.

Ia diharapkan dapat menemani pemain-pemain muda yang biasanya masih mengandalkan agresivitas dan daya tahan saja. Melalui kehadirannya, para pemain muda khususnya yang berposisi di belakang dapat belajar cara menerapkan taktik maupun mengontrol situasi baik teknis maupun nonteknis.

Martin Braithwaite
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada si pemain, sebenarnya tidak ada yang menyangka jika Martin Braithwaite dapat membela Barcelona. Namun, kenyataannya memang seperti itu.

Braithwaite bahkan sudah menggaransi tempatnya di Barcelona dengan bukti nomor punggung 9 yang digunakan di musim 2020/21. Meskipun bukan berarti ia akan selalu bermain, tetapi itu pertanda ia masih akan bertahan di Camp Nou setidaknya sampai akhir musim.

Kondisi yang seperti itu tidak membuatnya goyah di level timnas Denmark. Bahkan, bisa saja namanya malah menjadi perbincangan publik di negaranya, karena menjadi pemain Barcelona.

Namun, keberadaan Braithwaite di timnas Denmark tentu tidak hanya mengandalkan statusnya sebagai pemain Barcelona. Ia juga dapat diandalkan secara kualitas.

Denmark andalkan Eriksen dan Braithwaite, serta Poulsen (15/10). Gambar: Google/DenmarkvsInggris
Denmark andalkan Eriksen dan Braithwaite, serta Poulsen (15/10). Gambar: Google/DenmarkvsInggris
Hal ini bisa terjadi, karena kebutuhan pelatih timnasnya kemungkinan besar berbeda dengan di klub. Barcelona diprediksi di atas kertas pasti lebih memilih nama Griezmann daripada Braithwaite.

Hanya, di level timnas, Braithwaite masih memiliki ruang untuk membuktikan diri. Sedangkan di Barcelona, ia masih perlu banyak kesempatan untuk menegaskan kelayakannya sebagai pemain Barcelona.

Bahkan, dengan keputusan Barcelona memberikan nomor punggung 9 ke Braithwaite, seharusnya juga selaras dengan keputusan Ronald Koeman untuk mengandalkannya ketika Griezmann masih kurang tajam. Bisa saja malah Braithwaite yang akan cocok dengan skema permainan Koeman. Siapa tahu?

***
Menurut penulis, ketujuh pemain itu memang masih pantas bermain di level timnas. Mereka bisa kurang bertaji di level klub bukan hanya soal penurunan performa, tetapi juga faktor kondisi--persaingan--skuad di klub tersebut.

Namun, di sisi lain penulis masih meyakini bahwa timnas yang terbaik seharusnya memasang para pemain yang menjadi pemain reguler di klubnya. Tidak peduli apakah si pemain berada di klub terbaik, seperti Barcelona, Real Madrid, Inter Milan, hingga Liverpool.

Paling pentingnya adalah si pemain tetap pada level individu terbaiknya. Kita lihat saja pemain gaek seperti Pepe. Meskipun sudah angkat koper dari Real Madrid pada 2017, ia masih pantas membela timnas Portugal sampai 2020 ini.

Lalu, bagaimana dengan Mauro Icardi? Hm....
~
Malang, 16-17 Oktober 2020
Deddy Husein S.
Baca juga: Kenaikan Karier atau Penurunan

Terkait:
Kompas.com, Panditfootball.com, Ligaolahraga.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun