Memang, kebudayaan di Indonesia bisa dikatakan nyaris lebih banyak dibandingkan negara lain. Tetapi, pasti akan ada culture shock ketika kita sudah sepenuhnya terjun ke sana lalu menjelajah ke tempat-tempat yang mungkin sebelumnya tidak terpikirkan.
Begitu pula dalam hal bahasa. Bisa saja pada suatu waktu, kita menjadi kebingungan karena ternyata di suatu daerah tertentu yang tanpa diprediksi sebelumnya--akan dikunjungi, ternyata memiliki perbedaan dalam hal pengucapan atau penerimaan gaya berbahasa kita.
Sefasih-fasihnya kita berbahasa 'nonbahasa asal' (baca: bahasa asing), pasti akan terlihat perbedaannya. Terkadang hal sekecil ini bisa mempengaruhi mental atau kepercayaan diri dalam bersosialisasi.
Ketiga, nilai tukar barang dan jasa. Jangankan membandingkannya berdasarkan antarnegara, antarkota/kabupaten saja ada yang berbeda nilai tukarnya. Itu juga sangat bisa mempengaruhi pola hidup dan kebiasaan kita jika berpindah tempat, apalagi pindah warga negara.
Bukannya bermaksud meremehkan daya juang orang Indonesia, tetapi saya pikir bekerja keras untuk hanya dapat memenuhi nilai tukar barang dan jasa itu tidak sepenuhnya menyenangkan. Termasuk, jika kita tidak sepenuhnya memiliki keahlian tertentu secara 'master' di bidang profesi.
Kalau hanya sekadar bisa, tentu banyak orang yang akan memenuhi kualifikasi tersebut. Artinya, hidup di negara lain dan tanpa pemenuhan kualifikasi dalam upaya menunjang dasar kehidupan sehari-hari, itu hanya akan menumpuk masalah di kemudian hari.
Berdasarkan tiga faktor itu, saya sudah pasti perlu berpikir sangat lama untuk memutuskan pindah warga negara. Pindah kos saja saya sudah malas, apalagi pindah warga negara.
Padahal, ketiga faktor itu sebenarnya saya tangkap hanya berdasarkan pengalaman saya merantau dengan berpindah kota yang jaraknya juga cuma dihitung 3-4 jam. Tetapi, berdasarkan hal itu saya sudah menemukan bagaimana beratnya berpindah tempat.
Seperti faktor pertama, saya sebagai orang baru di kota rantau tidak mungkin hanya mendekam di kamar kos saja. Tentu, saya harus pergi ke warung untuk membeli makanan, ke toko kelontong untuk membeli keperluan lainnya. Termasuk berbincang-bincang sejenak dengan sesama penghuni kos-kosan.
Kegiatan itu memang sepele, tapi itu bukti kalau kita tidak bisa hanya mencari tempat untuk asyik sendiri. Kita masih perlu berinteraksi. Saat seperti itulah proses adaptasi berjalan.
Saat seperti itu juga, kita mulai memikirkan tentang bagaimana proses adaptasi kita. Apakah sudah menyenangkan--membuat kita nyaman--atau belum?