Kedua, Barcelona telanjur lekat dengan filosofi Tiki-Taka. Itu artinya, setiap pelatih yang hadir di Camp Nou dan membesut Lionel Messi dkk. harus memahami filosofi itu dan mengadaptasinya ke strategi yang ia bawa.
Sejauh ini sebenarnya hanya Luis Enrique yang terlihat berhasil memodifikasi tiki-taka--yang disempurnakan Pep Guardiola--dengan permainan yang ia inginkan, yaitu lebih cepat dan fleksibel, alias kadang tidak mengandalkan ball possession--modalnya tiki-taka. Namun, sayangnya Barcelona tak bisa mempertahankan Enrique.
Ketiga, Barcelona sangat butuh karakter kuat pada pelatihnya. Sebenarnya tentang pelatih sudah disinggung dengan penyebutan Luis Enrique. Mantan pelatih AS Roma itu adalah representasi dari mulai adanya kebiasaan bergonta-ganti pelatih di Barcelona yang kemudian tidak diirngi dengan penemuan karakter yang tepat.
Sejak Enrique-lah, Barcelona kemudian mulai berani mengeksplorasi kursi kepelatihan. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka berani menunjuk Ernesto Valverde sebagai pengganti si pemberi trofi Liga Champions 2014/15 itu.
Di sini Barcelona mulai terlihat arogan, karena seperti merasa bahwa dengan pelatih berbeda, mereka pasti masih bisa berprestasi dengan adanya skuad yang mumpuni. Anggapan itu sebenarnya tidak salah, tetapi juga tidak betul.
Seandainya, mereka tidak ditangani pelatih yang berorientasi untuk menang dan juara seperti Enrique, jelas Barcelona hanya akan seperti penjelajah ulung yang kehilangan kompas di tengah hutan lebat. Siapa yang akan memberi masukan kepada Messi dkk. dari tepi lapangan?
Permasalahan ini kemudian semakin terlihat ketika Barcelona dilatih Valverde. Memang, sosoknya terlihat mencuri perhatian bersama Athletic Bilbao, namun secara jam terbang, Valverde masih perlu pembuktian.
Ditambah dengan gaya main Bilbao yang sangat berbeda dengan Barcelona. Klub yang pernah diperkuat Aritz Aduriz itu lebih bermain simpel dan mengandalkan transisi cepat dari bertahan ke menyerang. Artinya, taktik Valverde adalah taktiknya tim kelas menengah.
Bukannya tidak menghargai kualitas Bilbao, namun dengan gaya bermain yang sedemikian rupa, maka permainan yang diusung Valverde adalah permainan anti-tim besar. Jika sudah demikian, maka pengaruhnya adalah mentalitas. Mau menang syukur, kalau kalah juga tidak apa-apa.
Terbukti, ketika di Barcelona, Valverde terlihat seperti one season wonder. Sekilas terlihat bagus, namun lama-lama permainan yang ia bawa mulai tidak menarik. Beruntung, Barcelona masih Barcelona, sehingga kehilangan jati diri akibat pergantian pelatih itu kurang terlihat sebagai permasalahan.
"Masih ada Messi, kok!"