Ulasan ini memang dipersiapkan untuk menanggapi tersingkirnya Barcelona di perempatfinal Liga Champions 2019/20. Bukan karena meremehkan kekuatan Barcelona saat ini, namun hasil pertandingan antara Barcelona vs Bayern Munchen (15/8), sudah terprediksi akan semengerikan itu.
Seperti yang sudah terulas di unggahan sebelumnya, bahwa Barcelona sedang berada di fase pesimistis dan krisis. Banyak polemik terjadi di lapangan maupun di luar lapangan, dan sayangnya tak ada yang bisa menyelesaikannya dengan baik.
Alasannya sederhana, harmoninya Barcelona akan diwujudkan di lapangan. Artinya, setiap ada permasalahan, hasil di lapangan yang akan menentukan. Apakah akan semakin keruh atau mulai jernih kembali.
Nahasnya, khusus untuk musim ini tanggung jawab untuk menyelesaikan setiap permasalahan di Barcelona dengan hasil baik di atas lapangan seolah terbebankan pada Lionel Messi. Suka atau tidak, begitulah yang terlihat.
Nyaris jarang terlihat Barcelona tampil luar biasa ketika Messi bermain biasa saja. Sebagian besar performa Barcelona terpengaruh oleh Messi ketika ia bermain, dan ini sudah menjadi peringatan kepada Barcelona. Mau sampai kapan begini terus?
Seperti ungkapan Sergio Ramos ketika Real Madrid baru saja ditinggal pemain hebatnya, Cristiano Ronaldo, pada bursa transfer musim panas 2018. Saat itu sang kapten El Real mengatakan, "tidak ada pemain yang lebih besar dari klub".
Pernyataan itu sebenarnya tak hanya berlaku untuk membangunkan "sang macan" dari Madrid, tetapi juga untuk semua klub termasuk Barcelona. Ungkapan itu juga senada dengan apa yang disampaikan Julian Nagelsmann tentang kepergian Timo Werner dari RB Leipzig ke Chelsea.
Kurang lebih ia mengatakan bahwa semua pemain sama, tidak ada yang diistimewakan. Mereka akan berperan sama pentingnya untuk klub.
Artinya, semua orang yang terlibat dalam sebuah permainan itu akan memberikan dampak. Tidak hanya satu pemain saja. Bahkan, juga termasuk pelatih. Peran pelatih tetap krusial meski di dalam skuad itu terdapat pemain hebat, seperti Barcelona dan Juventus saat ini.
Seperti yang kita tahu, Juventus telah mengalami tiga kali pergantian pelatih sejak 2011, dari Antonio Conte, Massimiliano Allegri, dan Maurizio Sarri. Menariknya, ketiga pelatih itu telah berhasil memberikan 9 gelar Serie A secara beruntun.
Tetapi, dari pencapaian luar biasa itu tetap terdapat poin krusial yang dihilangkan, yaitu kesabaran. Bersama Conte, Juventus sebenarnya luar biasa. Mereka tak hanya kuat di kompetisi domestik, melainkan juga kembali menjadi perhitungan lagi di Liga Champions.
Seandainya Juve lebih bersabar dengan Conte bisa saja Juventus akan memenangkan Liga Champions. Karena, waktu adalah media pembelajaran untuk memperbaiki di kesempatan berikutnya. Cepat atau lambat.
Hal ini juga berlaku untuk masa kepelatihan Allegri. Malah, di musim pertamanya (2014/15) bersama Chiellini dkk., ia mampu membawa La Vecchia Signora ke final dan bertemu Barcelona. Walau gagal juara, apa yang ditunjukkan Allegri adalah bukti bahwa Juventus sebenarnya bisa berprestasi lebih tinggi lagi.
Kiprah Allegri bersama klub asal Turin itu kemudian berlanjut dan kembali mengantarkan Juve ke final "Si Kuping Besar" dua tahun berselang, yaitu pada 2016/17. Sayangnya, Juve kembali gagal karena harus bertemu tim kuat Spanyol lainnya, Real Madrid.
Berkaca pada catatan itu, Allegri sebenarnya mumpuni. Seandainya Juventus sangat fokus dengan misi menjuarai Liga Champions, mereka pasti bisa melakukannya. Ditambah saat ini mereka ada Cristiano Ronaldo.
Seandainya Allegri masih dipercaya sampai musim 2019/20 ini, kemungkinan untuk bisa melaju lebih jauh bisa terjadi. Karena, di situ ada kombinasi antara pemain-pemain berpengalaman dengan pelatih yang juga berpengalaman.
Misinya juga sama, yaitu haus akan gelar Liga Champions setelah terakhir menjuarainya di tahun 1996. Tetapi, Juventus tidak memiliki kesabaran. Kursi kepelatihan kemudian diduduki oleh pelatih baru, Sarri.
Pekerjaan Sarri bisa dikatakan rumit. Di satu sisi, dia beruntung menerima skuad mapan yang sudah ada sejak masa Conte dan Allegri. Namun di sisi lain, visi Sarri pasti berbeda dengan dua pelatih pendahulunya.
Itulah yang membuat pekerjaan Sarri tak bisa selesai--sesuai keinginan banyak orang--hanya dalam semusim. Dia perlu waktu, apalagi membuat klub yang dilatih sesuai keinginannya. Namun, lagi-lagi Juventus tidak sabar dan memilih menggantinya dengan pelatih yang 0 caps dalam karier kepelatihannya, Andrea Pirlo.
Entah bagaimana nasib Juventus ke depannya, yang pasti apa yang terjadi pada Juventus seharusnya tak terjadi pada Barcelona. Mengapa?
Penyebab pertama, Barcelona tidak hanya berorientasi pada prestasi di domestik, tapi juga Eropa. Mereka adalah tim besar yang bahkan memenangkan 4 titel Liga Champions dalam 10 tahun (2005-2014) di era modern.
Kedua, Barcelona telanjur lekat dengan filosofi Tiki-Taka. Itu artinya, setiap pelatih yang hadir di Camp Nou dan membesut Lionel Messi dkk. harus memahami filosofi itu dan mengadaptasinya ke strategi yang ia bawa.
Sejauh ini sebenarnya hanya Luis Enrique yang terlihat berhasil memodifikasi tiki-taka--yang disempurnakan Pep Guardiola--dengan permainan yang ia inginkan, yaitu lebih cepat dan fleksibel, alias kadang tidak mengandalkan ball possession--modalnya tiki-taka. Namun, sayangnya Barcelona tak bisa mempertahankan Enrique.
Ketiga, Barcelona sangat butuh karakter kuat pada pelatihnya. Sebenarnya tentang pelatih sudah disinggung dengan penyebutan Luis Enrique. Mantan pelatih AS Roma itu adalah representasi dari mulai adanya kebiasaan bergonta-ganti pelatih di Barcelona yang kemudian tidak diirngi dengan penemuan karakter yang tepat.
Sejak Enrique-lah, Barcelona kemudian mulai berani mengeksplorasi kursi kepelatihan. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka berani menunjuk Ernesto Valverde sebagai pengganti si pemberi trofi Liga Champions 2014/15 itu.
Di sini Barcelona mulai terlihat arogan, karena seperti merasa bahwa dengan pelatih berbeda, mereka pasti masih bisa berprestasi dengan adanya skuad yang mumpuni. Anggapan itu sebenarnya tidak salah, tetapi juga tidak betul.
Seandainya, mereka tidak ditangani pelatih yang berorientasi untuk menang dan juara seperti Enrique, jelas Barcelona hanya akan seperti penjelajah ulung yang kehilangan kompas di tengah hutan lebat. Siapa yang akan memberi masukan kepada Messi dkk. dari tepi lapangan?
Permasalahan ini kemudian semakin terlihat ketika Barcelona dilatih Valverde. Memang, sosoknya terlihat mencuri perhatian bersama Athletic Bilbao, namun secara jam terbang, Valverde masih perlu pembuktian.
Ditambah dengan gaya main Bilbao yang sangat berbeda dengan Barcelona. Klub yang pernah diperkuat Aritz Aduriz itu lebih bermain simpel dan mengandalkan transisi cepat dari bertahan ke menyerang. Artinya, taktik Valverde adalah taktiknya tim kelas menengah.
Bukannya tidak menghargai kualitas Bilbao, namun dengan gaya bermain yang sedemikian rupa, maka permainan yang diusung Valverde adalah permainan anti-tim besar. Jika sudah demikian, maka pengaruhnya adalah mentalitas. Mau menang syukur, kalau kalah juga tidak apa-apa.
Terbukti, ketika di Barcelona, Valverde terlihat seperti one season wonder. Sekilas terlihat bagus, namun lama-lama permainan yang ia bawa mulai tidak menarik. Beruntung, Barcelona masih Barcelona, sehingga kehilangan jati diri akibat pergantian pelatih itu kurang terlihat sebagai permasalahan.
"Masih ada Messi, kok!"
Jika dibandingkan dengan pelatih yang sedang menganggur seperti Maurichio Pochettino dan Massimiliano Allegri, jelas Setien masih kalah. Bahkan, meski dirinya menyatakan filosofi sepak bolanya adalah seperti Johan Cruijff.
Alasan sederhananya adalah tentang pengalaman melatih pemain-pemain kelas atas dan konsistensi. Meski, dirinya mampu membawa klub Real Betis tampil atraktif dan percaya diri, tapi kiprahnya tidak berjalan secara konstan.
Ditambah dengan minimnya pemain yang memiliki kapasitas juara seperti Suarez, Griezmann, dan tentunya Messi. Sikap mereka pasti berbeda dengan pemain Real Betis atau klub medioker lainnya.
Untuk itulah perlu pelatih yang tak hanya jenius, tetapi juga memiliki wibawa untuk membuat para pemain percaya dengan apa yang pelatih katakan. Dan, nahasnya sampai sejauh ini kita melihat Barcelona tidak seperti itu.
Antara pelatih dan pemain tidak sinkron. Inilah yang kemudian perlu dipelajari oleh Barcelona, agar tidak lagi main-main soal menempatkan seseorang sebagai pelatih.
Namun, harapannya Barcelona tidak seperti Juventus yang terlalu berani melakukan pergantian pelatih. Karena, Barcelona adalah Barcelona. Mereka harus lebih perfeksionis dalam memilih pelatih.
Jika sudah demikian, kita tinggal berharap tentang siapa pelatih yang tepat. Ialah yang nanti akan berupaya membawa Barcelona untuk segera kembali sebagai juara sejati, baik di kancah domestik maupun Eropa dan dunia.
Kira-kira, Anda menjagokan siapa?
Malang, 15 Agustus 2020
Deddy Husein S.
Terkait:
Okezone.com, Kompas.com, CNNIndonesia.com, Indosport.com 1, Bola.net, Bolalob.com, Indosport.com 2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H