Sebenarnya setiap hasil pasti perlu ada proses, termasuk dalam sepak bola. Setiap klub yang meraih hasil di akhir musim pasti perlu melalui banyak hal di sepanjang musimnya.
Ada yang tancap gas seperti Liverpool. Ada yang "selow" seperti Bayern Munchen. Ada pula yang berhasil memanfaatkan situasi seperti Real Madrid.
Liverpool adalah representasi tim juara yang langsung meyakinkan publik sejak awal musim bahwa mereka calon juara. Memang, seiring berjalannya waktu gas yang mereka tekan mulai terkikis.
Mereka mulai kedodoran, salah satu tandanya adalah ketika mereka dapat dikalahkan Watford. Begitu juga ketika mereka gagal menaruh fokus di Liga Champions, Piala Liga, dan Piala FA. Mereka memilih fokus dengan gelar yang mungkin sulit terulang, yaitu Piala Dunia Antarklub dan Premier League.
Khusus Premier League, mereka sebenarnya masih dijagokan untuk kembali bersaing di papan atas untuk beberapa musim ke depan. Tetapi, mereka ingin memastikan diri bahwa mereka memang tim juara.
Akhirnya target itu terealisasi. Musim ini, mereka adalah jawara liga meski kemudian tidak mengakhiri musim dengan banyak keistimewaan.
Salah satunya dengan bukti kegagalan mereka melampaui jumlah poin yang ditorehkan Manchester City ketika juara liga. Mereka gagal memecahkan rekor itu karena salah satu akibatnya adalah kekalahan yang mengejutkan dari Arsenal.
Kekalahan itu tak lepas dari menipisnya gas yang mereka miliki pasca resmi menjadi juara Premier League. Dan, bukan suatu hal aneh jika sebuah tim yang sudah juara memilih mengendurkan kekuatannya.
Namun, apa yang mereka tunjukkan tidak bisa dianggap sama dengan apa yang dilakukan jawara lainnya, Juventus. Klub asal Italia itu meski sukses meraih scudetto ke-9 secara beruntun justru terlihat beruntung. Mengapa?
Tidak konsisten
Namun nyatanya di musim ini mereka telah mengalami 7 kekalahan, sedangkan di musim sebelumnya mereka hanya kalah 4 kali. Satu-satunya keunggulan di musim ini adalah mereka mampu mencetak 76 gol, lebih banyak 6 gol dari sebelumnya.
Keunggulan dalam hal jumlah gol tersebut karena Juventus mulai bergantung pada Cristiano Ronaldo. Mulai moncernya Ronaldo di Juventus sepertinya telah menjadi pisau bermata dua.
Di satu sisi membuat Juventus kian tajam dan memiliki jaminan untuk selalu dapat mencetak gol. Di sisi lain, membuat pemain lain kurang mendapatkan kesempatan untuk unjuk gigi.
Secara menit bermain, Ronaldo memang tidak begitu mengintimidasi rekan sesama pemain depan. Tetapi secara mentalitas, kembalinya ketajaman Ronaldo mampu meneror pemain depan lainnya seperti Bernardeschi dan Gonzalo Higuain.
Kita bisa saja menduga bahwa Higuain mengumpat nasibnya karena harus kembali satu tim dengan Ronaldo. Padahal, dia "kabur" ke Serie A untuk mendapatkan panggung setelah kalah bersaing dengan Ronaldo di klub sebelumnya, Real Madrid.
Gambaran ini kemudian cukup terlihat ketika Juventus melakoni laga pamungkas di Serie A musim ini (2/8). Maurizio Sarri yang sengaja mengistirahatkan Ronaldo ternyata membuat Juventus seperti klub berpenghuni "mas-mas biasa".
Sayangnya, keinginan itu gagal terwujud. Meski dirinya mampu mencetak satu gol ke gawang AS Roma, namun gawang Wojciech Szczesny harus bobol 3 kali.
Pesta juara pun terlihat kurang menarik, karena mereka kalah. Tetapi, apakah mereka salah?
Sebenarnya tidak salah, hanya dengan melihat dua faktor sebelumnya, maka apa yang diraih Juventus saat ini bisa saja tak terulang di musim depan. Mengapa? Karena, mereka akan menghadapi perbaikan kondisi dari para rivalnya.
Inter sedang beradaptasi dengan Conte di musim ini
Keberhasilan Juventus juara Serie A musim ini tidak bisa dipungkiri karena mereka juga diuntungkan dengan performa Inter Milan, Lazio, dan Atalanta yang kurang stabil. Ini yang membuat Juventus masih terlihat lebih baik, karena mereka masih memiliki sisa pondasi dari era Antonio Conte dan Massimiliano Allegri.
Bahkan, runner-up musim lalu, Napoli malah terjebak di posisi ke-7. Artinya, Juventus juga bisa dikatakan berhasil memanfaatkan kelabilan para rival, meski mereka juga sudah mulai ikutan labil.
Baca juga: Juve Juara, tapi....
Inilah yang kemudian dikhawatirkan, jika Juventus masih mengharapkan berkah dari kesalahan rivalnya. Karena, hal ini bisa saja tak berulang apabila rivalnya, khususnya Inter Milan mampu lebih konsisten lagi dan mampu menjaga persaingan di posisi 2 besar dari awal sampai akhir musim.
Jika sudah demikian, riwayat scudetto beruntun Juventus dapat terhenti. Imbasnya pun bisa sangat fatal.
Pertama, Juventus akan kehilangan Cristiano Ronaldo. Artinya, mereka kehilangan salah satu predator di lini depan yang membantu mereka bisa menyegel juara Serie A.
Kedua, mereka akan kembali melakukan transisi kepelatihan. Jika merujuk pada musim ini saja, maka ada kemungkinan besar bahwa karier Sarri di Turin tidak akan panjang.
Ketiga, Juventus akan hanya mengandalkan (kembali) Paulo Dybala. Memang, si pemain bisa menjadi salah satu penjamin kesuksesan Juventus. Namun, jika melirik situasi di musim ini dia masih perlu rekan hebat seperti Ronaldo untuk membuat bebannya tidak sangat berat.
Sedangkan jika Ronaldo pergi, maka Juventus akan minim tumpuan. Begitu pun dengan peluang Dybala untuk hengkang dari Juventus, itu bukanlah hal mustahil.
Jika Juventus yang saat ini masih mengandalkan Ronaldo dan Dybala sudah mulai keteteran, bagaimana dengan situasi mereka saat tanpa kedua pemain tersebut?
Salah satu harapan sebenarnya ada di kursi pelatih. Jika allenatore Juventus tepat, maka seluruh pemain Juventus akan terdorong untuk tampil sesuai ekspektasi. Dybala pun bisa saja urung hengkang.
Baca juga: Sarri Sadar Diri
Tetapi, jika pilihan pelatihnya kurang tepat, maka hasilnya bisa sangat berbeda. Dan, apabila merujuk pada apa yang sedang dilakukan Juventus saat ini, ada indikasi jika mereka ingin membuat regenerasi pelatih.
Ini dapat dilihat dari peresmian Andrea Pirlo sebagai pelatih Juventus U-23. Andaikan mantan pemain berposisi gelandang itu memiliki tren yang bagus, maka statusnya bisa berubah menjadi pelatih tim utama.
Walau perjudiannya akan semakin kompleks, karena Pirlo harus menghadapi banyak pelatih yang lebih dahulu berkompetisi seperti Paulo Fonseca, Simone Inzaghi, Fillipo Inzaghi, hingga tentunya Antonio Conte.
Termasuk adanya peluang Allegri kembali ke Serie A. Maka, masih banyak pelatih berpengalaman yang harus ditantang oleh Juventus jika bersama Pirlo. Becermin pada apa yang dialami Chelsea, Manchester United, dan Arsenal, maka itu juga dapat terjadi pada Juventus.
Namun, Juventus memang perlu melakukan itu, meski pada suatu waktu mereka akan terlihat kembali menjadi sekelompok mas-mas biasa--seperti di laga terakhir musim ini, bukan sang juara. Patut dinantikan.
Malang, 2 Agustus 2020
Deddy Husein S.
Berita terkait: Viva.co.id, Kompas.com, Detik.com, Liputan6.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H