Pikiran ini juga akan muncul ketika saya memperoleh bonus atau anggap saja ada pendapatan lainnya. Kemudian saya berpikir bahwa, "ah besok saya masih bisa makan kok". Padahal, saya tidak bisa memprediksi secara tepat, termasuk ketika covid-19 sungguh ada di Indonesia. Duh, siapa yang menyangka?
Namun ketika refleksi ini semakin kuat, justru saya tidak begitu sedih, karena Bu Ita juga menyampaikan bahwa covid-19 ini masih bisa dihadapi. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan kemajuan peradaban.
Saat ini jelas kita lebih akrab dengan hal-hal yang berwujud digital, maka itulah yang seharusnya dapat dioptimalkan. Memang kemudian saya cukup dilema untuk berkata, "untung covid-19 ini muncul ketika hape sudah semakin akrab di tangan kita".
Hal ini dikarenakan saya juga berpikir bahwa era digital bukan berarti masyarakat sudah cerdas dalam menggunakannya. Itulah mengapa ketika sudah ada pergeseran hidup ke serba digital, saya masih merasa ada banyak masyarakat yang kesulitan untuk beradaptasi khususnya ketika dipaksa berubah dengan adanya covid-19.
Hal ini juga tak hanya berlaku di kelas bawah. Di kelas atas pun demikian. Masih banyak regulasi yang keteteran dalam menghadapi pergeseran hidup secara paksa ini, karena kita memang belum bisa memprediksi dengan akurat.
Mbak Gina yang juga merupakan dokter ini ternyata bisa dikatakan berhasil sebagai seorang pebisnis meski juga merasakan dampak dari covid-19. Ada tiga pembelajaran yang dapat dipetik dari apa yang disampaikan oleh Mbak Gina.
Pertama, kita harus mencari prioritas. Ternyata saat pandemi, kesejahteraan adalah prioritas utama. Kita harus terjamin untuk bisa makan dan memenuhi kebutuhan lainnya.
Jika tidak, tentu omong kosong jika diharuskan untuk bisa keep fight dengan corona. Lha wong belum makan kok diajak perang?
Kedua, mampu berpikir positif. Artinya, saat ada pandemi yang sangat mengganggu banyak hal, kita seharusnya masih dapat menemukan hal-hal yang positif. Ibaratnya ada hujan yang deras, ada peluang juga untuk pelangi muncul.
Ketiga, mencari ataupun menjaga kreativitas. Sebenarnya ini sangat berkaitan dengan pemahaman kita tentang keberadaan era digital. Jika kita tidak hanya menganggap gawai bagus sebagai media hiburan, maka kita akan dapat membuat gawai yang kita miliki sebagai media berkreasi maupun menjaga eksistensi.