Dugaan awalnya saat membaca judul itu adalah tentang citarasa yang mungkin memang lebih enak dari Oreo original. Bukankah kukisnya berwarna merah? Pasti ada rasa yang berbeda di balik warna tersebut.
Dugaan itu kemudian menggiring mata untuk menyimak video review Oreo "Sultan" tersebut. Seiring berjalannya waktu, optimistis terkait istilah worth it karena citarasa mulai luntur secara perlahan.
Bukan karena ekspresi David yang tersirat mengungkapnya. Namun, hal itu dikarenakan faktor familiar dan ekspektasi. Seperti yang pernah ditulis di artikel tempo waktu, bahwa terkadang ekspektasi tak selamanya dapat sinkron dengan realisasi.
Bad opinion itu pun mulai membesar ketika ternyata kemasan di dalam bungkus Oreo Supreme itu tidak begitu solid. Hasilnya dapat ditebak bahwa kukis Oreo itu dapat retak dan berantakan.
Apakah itu worth it? Lima ratus ribu, loh!
Seharusnya bisa lebih bagus. Karena jika disandingkan dengan kemasan crackers tipis saja yang harganya masih 10.000 rupiah--bisa lebih murah--sudah kalah jauh.
Dari situ kesan bahwa Oreo Supreme tidak worth it semakin mengangkasa. Hingga tiba momen yang dinantikan, yaitu Oreo Supreme dimakan oleh David. Bagaimana Bang?
Jika merujuk pada ekspresi dan penuturannya, terasa bahwa citarasa Oreo Supreme tak lebih istimewa jika dibandingkan Oreo original. Artinya, ada faktor familiar (kebiasaan) yang diunggulkan dalam menanggapi rasa baru yang ditawarkan si Oreo Merah. Tetapi, mengapa muncul kata "worth it"?
Ternyata istilah itu muncul karena terdapat rasionalitas dari apa yang dirasakan dan dihadapi oleh David. Ini pula yang membuat respek besar patut diberikan ke youtuber yang identik mengulas tentang gadget-gadget yang berkeliaran pesat dewasa ini.