Contoh tulisan yang saya pelajari terkait hak cipta terkait gambar ada di tiga artikel ini.
Lalu, bagaimana dengan hak cipta tulisan?
Sedangkan ini dapat dipelajari saat membaca tulisan sesama Kner. Ada yang nyaris seperti buku, jurnal ilmiah, hingga ala-ala berita online.
Tentu semuanya memiliki tampilan kerennya masing-masing. Namun, di sini penulis juga belajar dari apa yang dilakukan admin Kompasiana saat melihat perubahan yang terjadi pada tulisan pasca terunggah.
Terlihat bahwa Kompasiana ingin tampilan yang simpel namun tidak meninggalkan esensinya. Yaitu, menghargai hak cipta dengan menyantumkan sumber atau acuan berargumentasi. Bukankah pemikiran kita seringkali sudah ada dan sama?
Seiring berjalannya waktu penulis akhirnya nyaman dengan cara yang ada di artikel ini. Menurut penulis, itu sudah mewakili dua hal, simpel namun tetap menunjukkan eksistensi dari sumber yang terkait.
Secara pengamatan sederhana, sebagai konsumen kita seringkali tergiring oleh visual. Maka, dalam hal penyantuman sumber juga harus ada visualitas. Kita harus diberitahu, bahwa ini loh sumbernya!
Bahkan, dengan penampakan sedemikian rupa tanpa diklik pun pembaca sudah tahu dan percaya bahwa ada tulisan lain yang terkait dengan yang barusan dibaca. Ditambah jika pembaca sudah lelah membaca yang barusan dibaca, maka cukup melihat nama sumbernya, biasanya sudah terpuaskan.
Mengapa penerapan hak cipta di Kompasiana disebut sebagai rule tersembunyi namun absolut?
Tersembunyi, karena admin Kompasiana bergerak selayak editor, namun tidak perlu menunjukkan eksistensinya sebagai editor seperti di media lainnya. Bukankah itu seperti bersembunyi?