Menjadi manusia cerdas, memang dasarnya harus bisa saling membantu. Meski semakin ke sini kebudayaan gotong-royong semakin menipis.
Namun, sebenarnya orang penganut liberalisme hingga sekularisme pun masih mau kok diminta sumbangan jika itu berkaitan dengan kemanusiaan. Bukan karena agama atau kepercayaan saja.
Toh, ketika di bumi, hidup kita lebih banyak berdasarkan kasat mata, bukan yang serba mitos. Buktinya, ketika banyak tempat disebut angker, justru semakin banyak orang menjadikannya sebagai konten vlog. Bukankah itu artinya kita butuh yang kasat mata (baca: pembuktian).
Itulah kenapa, ketika melakukan sesuatu termasuk berbagi juga harus realistis. Tidak perlu mengharapkan hal-hal yang belum mampu dijangkau mata, apalagi akal.
Dari situ, saya selalu mengedepankan bisa dan tidak bisa. Sebenarnya mau dan tidak mau juga ada. Namun biasanya selama itu untuk orang lain saya secara tak sadar berteriak mau dalam pikiran.
Meski demikian, saya akan segera mengkalkulasikannya dengan keterbisaan saya. Jika memang bisa, maka kata mau tadi akan terealisasi. Jika tidak, kata mau tadi tak akan terealisasi. Mungkin di lain waktu, dan di lain pihak.
Membantu ataupun berbagi tentu harus dibedakan dengan membalas kebaikan. Kita membantu orang lain tidak harus karena beban moral terkait balas budi. Tetapi karena bisa.
Jika memang bisa, saya lakukan, meski biasanya tidak saya wujudkan ke orang yang sebelumnya membantu saya. Toh, saya pikir juga orang yang sudah terbiasa bederma, hidupnya pasti akan lebih berkecukupan dibandingkan orang lain.
Sekaligus saya ingin menguji keikhlasan orang-orang yang telah menolong saya. Apakah tanpa saya balas, mereka tetap ikhlas melakukan kebaikan kepada orang lain seperti saat menolong saya?
Prinsip ini juga terus berlaku dalam segala tindak-tanduk saya. Pro-kontra selalu mengiringi. Ada yang bilang saya pelit. Ada yang bilang saya terlalu perhitungan, padahal laki-laki. Loh, apa salahnya?
Lalu, ada juga yang tetap di sisi saya mendukung ataupun menutupi pola pikir saya tersebut yang mungkin kurang baik secara sosial. Wah, kok gitu ya? Seolah, saya ini telah melakukan penyimpangan sosial. Duh!