Kemungkinannya tidak besar, karena faktor trust and bonded antara tim dan pembalap tidak sama. Belum lagi jika ada faktor challenge bagi para pembalapnya.
Semakin ke sini, setiap tim pabrikan mulai kembali ambisius untuk saling jegal. Hal ini terbantu oleh faktor intelektualitas tim mekanik dan pengembangan teknologi yang membuat mereka yakin dapat saling mengalahkan.
Siapa yang tidak ingin mencoba motor Ducati? Bahkan, meski sang pembalap sangat menyukai motornya sendiri dan timnya sangat bekerja keras untuk mencoba membangun motor dengan kapasitas yang mirip, namun pasti ada rasa untuk mencoba motor Ducati jika peluang itu muncul sangat besar.
Hal ini bisa tergambarkan dengan keberhasilan Valentino Rossi dan Jorge Lorenzo untuk pindah dari Yamaha ke Ducati, meski mereka sudah besar dan membesarkan tim sebelumnya. Hal ini juga berlaku pada nasib Johann Zarco yang nomaden.
Seandainya sistem kontrak MotoGP seperti sepak bola, mungkin dia bisa sangat uring-uringan karena gagal perform di KTM, namun tak bisa pergi dari KTM. Memangnya ada klub bola yang membeli pemain yang tidak perform dengan tim yang bukan unggulan?
Sudah bukan di tim unggulan, tidak perform pula. Apa yang akan diharapkan?
Namun, dengan sistem kontrak jangka pendek dan keberanian pembalapnya untuk memutuskan ikatan kontrak, hal semacam itu bisa terjadi. Karena semakin pendek ikatan kontrak, pasti nominal ataupun kompensasinya tak terlalu tinggi.
Meski demikian, melalui contoh perpanjangan kontrak jangka panjang seperti yang dilakukan Repsol Honda terhadap Marc Marquez, ini dapat dilakukan pula oleh tim lain. Meski mereka harus memiliki banyak pertimbangan.
Seperti faktor usia pembalap, progres dengan motor yang dimiliki, hingga prestasi yang dicapai pada musim-musim sebelumnya.
Sedangkan untuk progres, Maverick Vinales dan Alex Rins perlu dikedepankan, termasuk pertimbangan pencapaian di musim sebelumnya.
Namun, apakah pembalap menginginkannya? Sebenarnya salah satu kuncinya ada di sana.