Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Pro dan Kontra Mundurnya Ratu Tisha dari PSSI

14 April 2020   13:15 Diperbarui: 15 April 2020   10:33 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ratu Tisha bersama Indra Sjafri. Sumber gambar: Bolasport.com/M.Robbani via Kompas.com

Tepat pada awal pekan ini (13/4), sebagian masyarakat Indonesia yang suka dengan sepak bola dikejutkan oleh keputusan mundurnya Ratu Tisha sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (Sekjen PSSI). Itu artinya, petualangan Ratu Tisha di PSSI sejak 2017 cepat berakhir, mengingat dirinya tidak mundur dengan melalui pergantian kepengurusan ataupun melalui Kongres Luar Biasa (KLB).

Tentu tidak akan ada asap jika tidak ada api. Begitu pula jika ada api, maka pasti ada pemantiknya. Keputusan mundurnya Ratu Tisha pasti ada penyebabnya. Namun, dari segala kabar yang beredar, hal ini tentu belum secara keseluruhan menjawab alasan di balik keputusan tersebut.

Bahkan, bisa saja keputusan itu bukanlah keputusan pribadinya. Namun, apapun itu kita tidak bisa memaksa lulusan Program Master FIFA itu untuk membuat klarifikasi. Biarkan beliau menjalani kehidupannya dengan segala keputusan yang memang harus diambil, entah baik atau tidak bagi orang lain.

Melalui kabar mengejutkan ini, masyarakat penikmat bola Indonesia kemudian diprediksi berada dalam dilema. Ada yang pro, ada yang kontra.

Bagi yang pro terhadap keputusan mundurnya Ratu Tisha dari Sekjen PSSI, terdapat dua alasan. Pertama, mundurnya Ratu Tisha karena untuk membuat masyarakat perlu mengetahui bagaimana kinerja PSSI jika tanpa sosok muda dan "berbeda" seperti Ratu Tisha.

Kedua, karena mundurnya Ratu Tisha akan membuat dirinya tak lagi terlihat sebagai pihak yang disalahkan, jika di dalam PSSI terdapat kebijakan-kebijakan yang sulit diterima pihak lain, khususnya oleh suporter. 

Tentu, kita tidak bisa tutup mata terhadap cibiran kelompok suporter kepada Tisha ketika dirinya dianggap sebagai penyebab penyelenggaraan pertandingan sepak bola terlihat "abnormal".

Lalu, bagaimana dengan sisi kontra?

Bagi yang kontra terhadap keputusan mundurnya Ratu Tisha dari kepengurusan PSSI terdapat alasan yang melandasinya, dan sebenarnya terintegrasi pula dengan alasan dari sisi pro.

Pertama, ketika sosok seperti Ratu Tisha dengan segala latar belakangnya di sepak bola dan kemudian terlihat mampu menjalankan perannya sebagai pengurus PSSI, kita seperti melihat ada secercah harapan. Walau secara usia dirinya masih muda, nyatanya mampu menjalankan segala administrasi dan birokrasi yang ada di federasi dengan cukup baik.

Hal ini tentu membuat kita berpikir, bahwa seharusnya rentang karirnya akan panjang. Faktor usia juga mengharapkan dirinya dapat menjalankan visi-misi jangka panjang terhadap sepak bola Indonesia yang dewasa ini sulit untuk diajak bersabar.

Jika ada sosok muda nan berdedikasi seperti Tisha di sepak bola Indonesia, maka jawabannya tentu "bertahanlah!"

Sepak bola Indonesia sangat butuh sosok seperti dirinya yang mampu berpikir secara kode etik (sepak bola internasional) namun tak meninggalkan kesan atau perasaan secara subjektif dan kelokalan. Tentu, dirinya adalah perempuan Indonesia, sehingga pertimbangan atas dasar yang semacam itu juga perlu dilakukan.

Baca juga: Liga 1 Putri 2019 Sudah Bergulir

Seperti penyetaraan gender di masyarakat bola Indonesia dengan diwujudkannya kompetisi Liga 1 Putri pada 2019 lalu. Awalnya, ada pesimistis bahwa kompetisi itu akan sulit digulirkan mengingat pada tubuh PSSI terjadi banyak gejolak di waktu yang sama.

Namun, dengan keberadaan Tisha yang seolah tinggal sendirian--sebelum ada pergantian Ketum PSSI, kita bisa melihat perannya sangat vital untuk merealisasikan kompetisi tersebut. Hal ini membuat mimpi Indonesia untuk melihat sepak bolanya berprestasi dapat dialihkan ke level perempuan, jika yang prianya (senior) masih sulit untuk berkembang dan bersaing.

Meski masih sangat jauh dari kata ideal, setidaknya ada upaya untuk membangun pondasi. Beruntung, hal itu berhasil dilakukan, walau tetap saja tak ada kata sempurna dari penyelenggaraan tersebut. No human perfect, actually!

Baca juga: Prospek Timnas Wanita Pasca Tuntasnya Liga 1 Putri 2019

Melihat alasan pertama itu, kita bisa menambahkannya dengan alasan kedua sekaligus fakta lain dari keberadaan Ratu Tisha di PSSI. Salah satunya dengan keberhasilan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada 2021 nanti.

Memang keberhasilan ini adalah effort dari seluruh lapisan sepak bola di Indonesia. Diantaranya adalah pemerintah daerah dan para pemilik klub di level kompetisi tertinggi. Tanpa pihak-pihak semacam itu, langkah ini pasti tersendat-sendat.

Namun, keberadaan Tisha bisa saja menjadi pemulus dari upaya tersebut. Wawasannya yang pernah belajar di FIFA diprediksi dapat diandalkan daripada para pengurus lainnya yang biasanya berdasarkan pola kerja federasi secara turun-temurun.

Artinya, Tisha adalah pemberi terobosan kepada PSSI terhadap dunia yang ada di luar Indonesia. Kita perlu seperti negara-negara lain, namun tetap perlu ada langkah sistematis dan step by step.

Hal ini yang diharapkan oleh masyarakat penikmat bola yang kontra terhadap keputusan mundurnya Tisha. Karena, siapa lagi yang dapat diandalkan untuk memahami kode etik persepakbolaan internasional dan pengaplikasiannya terhadap kondisi sepak bola Indonesia yang masih sulit untuk diajak be-revolusi.

Pernyataan ini tentu terlihat kontradiksi dengan sebelumnya yang menyatakan bahwa sepak bola Indonesia tidak bisa diajak bersabar. Namun, bersabar di sini harus diikuti dengan pelaksanaan prosedur yang jelas, efisien, dan transparan.

Jangan sampai kita berproses namun tidak mengungkapnya dan kemudian menimbulkan adanya dugaan praktik tidak benar didalamnya. Kita tentu harus transparan jika hal itu berkaitan dengan kebutuhan bersama.

Ratu Tisha bersama Indra Sjafri. Sumber gambar: Bolasport.com/M.Robbani via Kompas.com
Ratu Tisha bersama Indra Sjafri. Sumber gambar: Bolasport.com/M.Robbani via Kompas.com
Di sinilah sosok seperti Ratu Tisha dibutuhkan. Sosok yang vokal namun sesuai tanggung jawab dan permintaan masyarakat. Jika memang kemudian dianggap terlalu vokal, kita harus mengingat kembali bagaimana latar belakangnya.

Apakah orang yang paham aturan main di sepak bola tidak boleh berbicara? Apakah yang harus berbicara hanyalah orang-orang yang kemarin sore menonton sepak bola lalu bisa mengatakannya hanya berdasarkan first impression?

Tentu hal ini tidak fair. Jika pihak PSSI yang diharapkan vokal harus membahas hal-hal yang krusial dan mendetil.

Memang, awalnya sosok Ratu Tisha dianggap sebelah mata karena jenis kelamin. Namun jika melihat rekam jejaknya, justru dialah yang paling berkompeten di antara semua orang yang ada di federasi saat ini. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka tentunya.

Memang, pengalaman dan usia sangat berkaitan serta berpengaruh terhadap kinerja. Namun, jika tidak ditolong dengan pembaharuan terkait pengetahuan dan situasi terkini, maka itu bisa disebut ketinggalan zaman. Apakah kita mau terus-menerus bernostalgia dengan masa lalu?

Apakah kita harus meratapi kegagalan timnas Indonesia menjuarai Piala AFF?

Apakah kita malah masih berbangga dengan pernahnya kita masuk ke Piala Dunia karena "bantuan" Belanda?

Mengapa kita tidak mencoba melakukannya di era yang baru dan bersama orang-orang baru yang melek terhadap sepak bola masa kini?

Itulah serangkaian kegelisahan yang bisa saja dimiliki oleh penikmat sepak bola Indonesia terkait keputusan mundurnya Ratu Tisha dari Sekjen PSSI. Mampukah penggantinya dapat melakukan pekerjaan yang berat seperti dirinya?

Kita tunggu saja jawabannya pada akhir April mendatang. Semoga, sepak bola kita tidak kembali ke goa karena mundurnya Ratu Tisha.

Sedangkan harapan terbaik tentu tetap diberikan kepada Tisha. Karena, siapa tahu dirinya akan kembali ke sepak bola dengan cara yang berbeda dan ternyata positif nan efektif untuk Indonesia.

Ya, siapa tahu?

Let's enjoy your life, Mbak Tisha!

Malang, 14 April 2020
Deddy Husein S.

Berita terkait:

Kompas.com 1, Kompas.com 2, Kompas.com 3, Viva.co.id.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun