Pertimbangannya juga sudah dapat dilihat secara teknis, di mana secara koefisien, kompetisi Liga Pro Jupiler masih berada di peringkat 9 per Mei 2018 (Goal.com). Mereka bahkan kalah koefisien dengan Liga Rusia yang berada di peringkat 6; mengungguli Liga Portugal dan Liga Ukraina.
Faktor rutinitas berkompetisi serta pencapaiannya di kompetisi Eropa sangat mempengaruhi bagaimana masyarakat penikmat sepak bola dapat mengenal dan mengikuti atmosfer setiap liga domestik tersebut.
Hal ini yang perlu diperhatikan dalam melihat apa yang terjadi pada Liga Pro Jupiler, dan mereka (pihak sepak bola Belgia) pasti memaklumi itu.
Di sinilah letak pembenaran terhadap keputusan Liga Pro Jupiler untuk segera back to home. Tidak ada perjuangan yang harus dipaksakan, karena semua memang sudah pantas untuk berhenti.
Apalagi, jika yang menginginkannya adalah semua klub di Belgia, maka itu adalah keputusan terbaik.
Tindakan semacam ini sama seperti apa yang berlaku dalam struktur pemerintahan suatu negara. Sebelum pihak pemerintah pusat mengatasi permasalahan di setiap daerah, maka yang bergerak terlebih dahulu seharusnya adalah pihak pemerintah daerah masing-masing.
Itulah mengapa ada daerah otonom (di Indonesia) atau negara bagian seperti di Amerika Serikat (Republik Federal) dan Australia (Monarki Federal).
Hal ini juga seharusnya berlaku di sepak bola. Sebelum pihak federasi tertinggi (konfederasi dan FIFA) turun tangan, maka yang harus membereskan permasalahan di setiap kompetisi domestik seharusnya federasi pada negara masing-masing. Karena, merekalah yang paling dekat dengan kejadian perkara.
Di sini, RBFA (federasi sepak bolanya Belgia) perlu bertindak sesegera mungkin, agar nasib semua klub di Belgia memperoleh kejelasan. Apalagi, jika mereka sudah memiliki kesepakatan internal (lingkup negeri), maka hasilnya juga merupakan hak mereka.
Lalu, mengapa UEFA justru ingin semua kompetisi domestik dilanjutkan?