Bagi generasi yang mengalami masa anak-anak dan remaja di era 80-an hingga 2000-an, membaca komik selayaknya membuka gadget dan berselam di berbagai platform media sosial. Mengasyikkan!
Setara dengan kegiatan anak muda masa kini, saat itu membaca komik juga perlu curi-curi kesempatan dan harus tanpa sepengetahuan orangtua. Jika sampai ketahuan, komik itu pasti dirampas, dan kita disuruh belajar, atau malah tidur. Sungguh menjengkelkan!
Namun, apalah daya, saat itu komik masih menjadi media hiburan saja, bukan sebagai penggiring masa depan.
Maklum, meski sebenarnya para orangtua kita sadar bahwa hidup butuh hiburan, tetapi mereka ingin anaknya tidak menjadi seniman. Apalagi komikus. Memangnya mau makan apa? Bukankah gaji mereka belum tentu serutin dan pasti seperti pegawai negeri?
Pandangan semacam ini sebenarnya juga berlaku sampai saat ini. Hanya, keberadaan media komunikasi dan informasi yang semakin canggih membuat anak-anak sudah mulai tahu landasan untuk menyelamatkan hobinya dan merubahnya menjadi calon profesi di masa depan.
Ditambah dengan komunikasi serta pembuktian yang dapat dilakukan si anak terhadap hobinya yang ternyata mampu menghasilkan keuntungan. Bukankah manusia selalu mencari itu?
Secara perlahan namun pasti, orientasi pekerjaan di masa kini mulai beragam. Termasuk keberadaan komikus yang semakin banyak. Uniknya, mereka sebagian besar adalah generasi yang tumbuh dan berkembang di masa komik-komik cetak masih menjadi primadona.
Bagaimana tidak, di masa itu, menyisihkan uang saku 1000 rupiah hanya untuk dapat menyewa 1 jilid atau 1 episode komik untuk seminggu sudah sangat menggembirakan. Padahal jika dipikir-pikir sebenarnya kita bisa membacanya sampai selesai hanya dalam sehari di sela-sela kita belajar maupun akan istirahat.
Seiring berjalannya waktu, dunia perkomikan sempat hampir tak ada kabarnya. Memang, stok komik dari Jepang masih ada, namun tidak sepopuler tahun 2000-an.
Bahkan, salah satu bukti nyata yang pernah dialami penulis ketika masih di kampung halaman adalah kios yang awalnya menjadi tempat penyewaan komik cetak, berubah menjadi kios baju, dan berubah lagi menjadi outlet ponsel.
Sejak itu, penulis sudah tidak mendengar kabar tentang komik apalagi jika mendengar produktivitas komikus asal Indonesia. Figur komikus yang diketahui oleh penulis saat itu hanyalah Hasmi. Itu pun tak lepas dari masa kecil penulis yang membaca koleksi komik tersebut dari warisan ibu.
Hal ini juga diperparah dengan orientasi bacaan penulis yang semakin minim terhadap karya fiksi kecuali novel. Itu pun masih sangat jarang jika dibandingkan beberapa tahun terakhir. Ini yang membuat pengetahuan penulis tentang pertumbuhan, alih-alih perkembangan dunia perkomikan di Indonesia sangat dangkal.
Akhirnya, penulis mulai kembali mengenal perkomikan di saat memasuki masa akhir kuliah. Faktor stress mendorong penulis mencari hiburan dan bertemulah dengan sebuah platform komik digital.
Sebenarnya sebelum itu, penulis sudah tahu jika ada platform komik digital, namun dari luar negeri. Pembaca pasti sudah bisa menebaknya. Sedangkan ini adalah buatan lokal, yang awalnya juga sempat tidak disadari asalnya.
Saat itu jumlah judul yang beredar juga belum banyak jika dibandingkan saat ini. Namun, kebanggaan sudah mulai mengembang di situ, karena "ternyata orang Indonesia juga bisa bikin komik, ya?"
Itulah yang membuat penulis semakin mengapresiasi para komikus hingga dapat mengenali beberapa komikus dari platform tersebut. Bak gayung bersambut, mereka juga sangat low profile dan mampu mendekat ke para pembaca yang ingin kenal lebih jauh, khususnya mengetahui proses kreatifnya.
Awalnya, penulis seperti pembaca komik lainnya yang sangat menuntut dan sok kritis. Karena, melihat banyak komik-komik yang sebenarnya bagus namun tidak disajikan dengan maksimal. Atau, juga karena faktor update pada beberapa judul yang sebenarnya bagus justru berhenti di tengah jalan dan tak ada kabarnya lagi.
Namun, karena (anggap saja) mulai dekat dengan lingkup perindustrian komik tersebut, penulis mulai tahu bagaimana proses kreatifnya, dan tentunya membuat penulis angkat topi kepada mereka.
Di balik awal mula underestimate dari masyarakat, ternyata mereka mampu membuktikan bahwa karya-karya mereka juga (sebenarnya) dapat berbicara banyak.
Dewasa ini, media hiburan memang semakin banyak, namun tidak semuanya dapat dinikmati begitu saja. Begitu pula ketika ada komik, khususnya yang digital. Keberadaannya akan memberikan variasi hiburan kepada masyarakat yang dewasa ini diprediksi semakin tinggi tingkat stress-nya, dan mereka tentu perlu adanya variasi hiburan.
Merekalah yang akhirnya membuat putra-putri bangsa yang dulunya hanya mampu membaca dan mengagumi komik dari luar negeri, kini dapat mewujudkan cita-citanya sebagai komikus dan meneruskan jejak para komikus legendaris sebelumnya.
Secara pribadi, penulis tidak begitu mengagumi beliau jika dibandingkan Hasmi, akibat selera. Itulah mengapa--sebagai gambaran sederhana--jika disuruh memilih menonton film berunsur tradisional atau sejarah, akan pikir-pikir terlebih dahulu dibandingkan jika ada update tentang film action khususnya bertema super hero.
Namun, ketika penulis mencoba mencari tahu kembali tentang RA Kosasih, ternyata salah satu karyanya adalah tentang pewayangan. Hal ini menggiring pada ingatan penulis tentang komik pewayangan yang pernah dibaca saat masih SD.
Di komik tersebut menceritakan tentang gejolak antara Rama dan Rahwana yang tentunya melibatkan Shinta dan karakter nyentrik, Hanoman.
Banyak adegan tentang Hanoman yang kala itu harus berhadapan dengan monster dan menerobos gedung yang kebakaran. Maupun saat dirinya mencoba meninggikan badannya dengan bantuan ekornya sebagai "kaki". Sungguh menarik!
Jika melihat dari teknik gambarnya, ketika meninjau-ulang dari internet, penulis yakin itu adalah karya RA Kosasih dibandingkan karya Teguh S. dan Jan Mintaraga yang keduanya juga memiliki karya komik pewayangan.
Selain faktor komiknya yang masih hitam-putih seperti milik Hasmi dengan Gundala-nya bagian season "Gundala Cuci Nama", penulis juga melihat aksen gambarnya sesuai dengan apa yang diingat saat itu.
Wah, sebuah memori belasan tahun--nyaris dua dekade--yang ternyata masih dapat membantu penulis untuk mengungkapnya di artikel ini. Namun, karena ini membahas sosok besar yang sangat menginspirasi para rekan komikus di seantero nusantara ini, maka hal tersebut perlu dilakukan.
Selain itu, faktor nama besar Kosasih ternyata tak pernah luntur, bahkan sampai 2020 ini. Buktinya, sebuah event besar tercipta untuk mengenang peran Kosasih dalam memotivasi para komikus Indonesia untuk selalu optimis dan berkembang mengikuti zaman--yang ternyata juga sangat mendukung keberadaan komik.
Event yang digelar dari 1 April hingga 30 April 2020 ini sesuai dengan kalender kelahiran Kosasih yang lahir pada 4 April 1919.
Saat ini, perkomikan Indonesia bisa tumbuh dan semakin berkembang karena media digital. Masyarakat sudah tidak lagi terlalu peduli dengan komik cetak, kecuali yang memang sangat fanatik.
Namun, jika melihat situasi di toko-toko buku besar maupun yang sedang, bahkan juga di acara bazar buku, penulis tidak/jarang melihat komik cetak sebagai daya tarik.
Satu-satunya cara untuk mengenal komik cetak dewasa ini karena eksistensi komik-komik tersebut di platform digital. Dari sanalah para pembaca akan mencari eksistensi nyata dari komik tersebut, baik dengan keberadaan merchandise hingga komiknya secara cetak.
Harapannya dengan adanya event semacam ini pamor komik dan komikus Indonesia kian terangkat. Mereka sudah seharusnya dianggap sebagai bidang yang setara dengan yang lain dan tentunya dapat dinaungi secara absolut oleh lembaga yang solid, seperti Asosiasi Komik Indonesia (AKSI).
Keberadaan AKSI tentu membuat para komikus dan karya komik yang semakin banyak bertebaran ini dapat terwadahi dan terayomi sesuai ranah profesional.
Mereka pun diharapkan dapat semakin giat untuk memperkenalkan karya-karya komik Indonesia ke masyarakat dari segala kelas dan daerah. Agar, masyarakat juga sadar bahwa orang Indonesia juga bisa membuat komik yang berkualitas. Mengapa tidak?
Sebagai bonus pada ulasan ini, penulis juga ingin berpartisipasi--walau di media yang berbeda--dengan memberikan 3 judul komik digital (sesuai tema "Top 3 Webtoon Indonesia Terfavorit") yang bisa menjadi referensi maupun berdasarkan favorit secara pribadi.
Lingkup kisahnya berada di sekolah, sehingga dapat pula direkomendasikan ke pembaca yang masih remaja. Soal kualitas, baik visual dan cerita, komik tersebut tidak terlalu kalah dengan "Detective Conan".
Bagi masyarakat yang hanya berkutat di satu daerah saja, perlu mengenal kebudayaan lain melalui komik ini, walau secara genre bisa saja perlu adaptasi.
Faktor genre juga membuat komik ini lebih baik dibaca oleh kelompok dewasa. Karena horor di sini sangat kental atau bisa saja disebut murni horor. Sehingga, bagi yang penakut, sebaiknya tidak membacanya.
Termasuk bagi yang konservatif, maupun yang "terpesona" hanya oleh visualnya, maka Anda harus angkat kaki sebelum mengkritik komik ini yang nantinya dianggap terlalu vulgar. Karena, itu adalah risiko Anda sebagai pembaca yang seharusnya menyaring sendiri atau memilah mana yang cocok bagi diri sendiri.
Sedangkan unsur horornya adalah karena komik ini juga mengangkat unsur-unsur kearifan lokal yang seringkali berkaitan dengan hal mistis. Salah satunya adalah pesugihan. Wah, ada yang pernah terjebak dengan praktik ini?
Nah, berhubung artikel ini sudah sangat panjang, maka sekian saja ulasan tentang perkomikan di Indonesia yang kali ini sedang berada di momen perayaan KOSASIH DAY. Semoga semakin jaya, komik Indonesia!
Malang, 3-4-2020
Deddy Husein S.
Artikel dan berita terkait: Duniaku.idntimes.com | Jawapos.com
Link komik di atas: Vigilante | Bhurloka | Hati Baja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H