Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Kosasih Day" dan Perjalanan Membaca Kembali Komik Karya Anak Bangsa

3 April 2020   07:25 Diperbarui: 4 April 2020   16:53 2246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komik action-horror menjadi paduan yang tepat untuk menghibur masyarakat Indonesia yang sedang gandrung dengan film-film action dari luar negeri. | Gambar: Ciayo.com

Bagi generasi yang mengalami masa anak-anak dan remaja di era 80-an hingga 2000-an, membaca komik selayaknya membuka gadget dan berselam di berbagai platform media sosial. Mengasyikkan!

Setara dengan kegiatan anak muda masa kini, saat itu membaca komik juga perlu curi-curi kesempatan dan harus tanpa sepengetahuan orangtua. Jika sampai ketahuan, komik itu pasti dirampas, dan kita disuruh belajar, atau malah tidur. Sungguh menjengkelkan!

Namun, apalah daya, saat itu komik masih menjadi media hiburan saja, bukan sebagai penggiring masa depan.

Maklum, meski sebenarnya para orangtua kita sadar bahwa hidup butuh hiburan, tetapi mereka ingin anaknya tidak menjadi seniman. Apalagi komikus. Memangnya mau makan apa? Bukankah gaji mereka belum tentu serutin dan pasti seperti pegawai negeri?

Pandangan semacam ini sebenarnya juga berlaku sampai saat ini. Hanya, keberadaan media komunikasi dan informasi yang semakin canggih membuat anak-anak sudah mulai tahu landasan untuk menyelamatkan hobinya dan merubahnya menjadi calon profesi di masa depan.

Ditambah dengan komunikasi serta pembuktian yang dapat dilakukan si anak terhadap hobinya yang ternyata mampu menghasilkan keuntungan. Bukankah manusia selalu mencari itu?

Secara perlahan namun pasti, orientasi pekerjaan di masa kini mulai beragam. Termasuk keberadaan komikus yang semakin banyak. Uniknya, mereka sebagian besar adalah generasi yang tumbuh dan berkembang di masa komik-komik cetak masih menjadi primadona.

Bagaimana tidak, di masa itu, menyisihkan uang saku 1000 rupiah hanya untuk dapat menyewa 1 jilid atau 1 episode komik untuk seminggu sudah sangat menggembirakan. Padahal jika dipikir-pikir sebenarnya kita bisa membacanya sampai selesai hanya dalam sehari di sela-sela kita belajar maupun akan istirahat.

Seiring berjalannya waktu, dunia perkomikan sempat hampir tak ada kabarnya. Memang, stok komik dari Jepang masih ada, namun tidak sepopuler tahun 2000-an.

Bahkan, salah satu bukti nyata yang pernah dialami penulis ketika masih di kampung halaman adalah kios yang awalnya menjadi tempat penyewaan komik cetak, berubah menjadi kios baju, dan berubah lagi menjadi outlet ponsel.

Sejak itu, penulis sudah tidak mendengar kabar tentang komik apalagi jika mendengar produktivitas komikus asal Indonesia. Figur komikus yang diketahui oleh penulis saat itu hanyalah Hasmi. Itu pun tak lepas dari masa kecil penulis yang membaca koleksi komik tersebut dari warisan ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun