Pemandangan itu pun terulang di Anfield, dan membuat publik semakin yakin bahwa Liverpool-lah yang pantas lolos ke perempat final. Apalagi ketika Wijnaldum mencetak gol. Firmino mencetak gol pula di babak tambahan waktu. Membuat Liverpool membalikkan agregat menjadi 2-1.
Liverpudlian pun siap memulai pesta road to "Final". Namun, situasi menjadi rumit ketika Liverpool langsung menurunkan tempo, bermain di belakang dan membiarkan pemain Atletico yang segelintir berada di area pertahanan Liverpool tersebut untuk membuka asa.
Kesalahan passing atau clearance Adrian menjadi awal mula. Begitu pula dengan kegagalan blocking dari pemain belakang Liverpool untuk mencegah gawang mereka dari kebobolan.
Liverpool akhirnya kebobolan gol tandang oleh tendangan luar kotak penalti Marcos Llorente, 2-1. Kedudukan yang sangat berbahaya, karena Atletico memiliki gol tandang.
Namun, Liverpool yang diharapkan mampu menjauhkan keunggulan justru kembali kebobolan. Lagi-lagi oleh Llorente. Skor menjadi 2-2 dan membuat Atletico merubah skenario.
Kini Atletico lebih favorit menang, sedangkan Liverpool mulai menggunakan jimat-jimat keberuntungannya dari bangku cadangan. Ada Divock Origi dan Fabinho. Disusul adanya Takumi Minamino yang sedang sulit beradaptasi dengan permainan Liverpool pasca terbajak dari Salzburg.
Jurgen Klopp pun semakin terlihat tidak realistis. Karena cenderung memaksa pemain-pemain starting line-up-nya untuk bermain maksimal walau sebenarnya nyaris deadlock.
Roberto Firmino memang mampu mencetak gol, namun di mana dia saat 90 menit waktu normal? Begitu pula dengan Sadio Mane dan Mohamed Salah yang jarang melakukan manuver berbahaya dan sulit melakukan tendangan on target, khususnya di babak kedua.
Padahal jika mereka mampu melakukannya, tentu hasilnya dapat berbeda. Memang itu bukan sepenuhnya salah mereka. Rasa frustrasi memang wajar terjadi ketika menghadapi lawan yang sangat fokus untuk bertahan.
Namun, inilah yang membuat Klopp seperti takut untuk membuat perubahan. Dia membiarkan para pemainnya mulai merasakan frustrasi, bukan penasaran.
Sedikit berbeda dengan Diego Simeone yang secara berkala membuat perubahan, sesuai dengan kebutuhan timnya di lapangan saat melihat situasi permainan. Bahkan, ketika Liverpool semakin sulit menembus pertahanan Atletico, Simeone memasukkan Vrsaljko dan Gimenez untuk menambah kekuatan di lini belakang.