Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

NH Dini dan Si Dia yang Berulang Tahun Hari Ini

29 Februari 2020   14:40 Diperbarui: 29 Februari 2020   21:16 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itulah yang penulis garisbawahi ketika saat ini melihat Indonesia sebenarnya tidak kekurangan penulis. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir banyak tulisan baru dari penulis baru yang mampu eksis di toko buku dari level kecil, menengah, hingga papan atas. Artinya, kita sudah memiliki generasi penulis, meski acapkali negeri ini disebut sebagai negara yang memiliki tingkat literasi yang rendah.

Namun, hal ini tidak boleh mengabaikan kehadiran para penulis tersebut, meski mereka juga tak selamanya menjadi penulis, ataupun hanya menjadi penulis musiman hingga dicap sebagai penulis follower --hanya menulis untuk mengikuti tren atau lingkup pertemanan. Lalu bagaimana dengan penerjemah?

Ini yang menjadi pertanyaan yang patut dijawab maupun menjadi pekerjaan rumah bersama. Karena, kita harus sepakat bahwa menjadi penerjemah bukan berarti level berkaryanya di bawah para penulis yang menghasilkan karya sendiri. Pemahaman semacam ini tak bisa dipungkiri akan menggelayut di kepala kita ketika melihat penilaian yang dimiliki penulis seolah lebih tinggi dibandingkan penerjemah.

Padahal, secara praktik keduanya sama-sama sulit. Menerjemahkan karya sastra tidak seperti menulis karya sendiri yang "hanya" manggut-manggut terhadap ide yang berhasil ditemukan sendiri, melainkan harus manggut-manggut juga dengan apa yang ingin ditunjukkan si penulis asli kepada pembacanya.

Khusus pada apa yang dilakukan NH. Dini, penulis meyakini bahwa kualitas Sampar dari Albert Camus tak berubah ketika berbentuk bahasa Indonesia. Artinya, perlu ada pemahaman dan pengenalan atas gaya menulis si penulis yang harus dimiliki oleh sang penerjemah, dan itu (sepertinya) sudah tak perlu diragukan lagi kepada sosok ibu dari pencipta Minions, Pierre Coffin.

Lalu, apa yang menarik dari NH. Dini selain karya terjemahan tersebut?

Tentu saja pada tanggal lahirnya, 29 Februari 1936. Sudah banyak yang tahu bahwa angka 29 pada bulan kedua tersebut hanya muncul setiap 4 tahun sekali, maka penulis berpikir nyentrik tentang kapan NH. Dini dan mereka yang lahir di tanggal tersebut merayakan ulang tahunnya.

Apakah mereka bersedia merayakan ulang tahunnya pada 28 Februari, yang artinya merayakan sehari sebelum mereka lahir? Prematur dong? Selain itu, penulis meyakini bahwa tidak semua orang ingin menuakan dirinya dengan cara seperti itu.

Namun, ketika mereka merayakan pada 1 Maret, maka mereka akan lebih muda dari seharusnya dan itu terlihat tidak fair dengan mereka yang memang lahir pada 1 Maret.

Walau demikian, menurut "si dia" yang lahir pada 29 Februari, memang rata-rata "bayi" 29 Februari akan lebih memilih 1 Maret sebagai alternatif untuk berulang tahun. Karena itu terlihat lebih logis, dibandingkan merayakan pada 28 Februari yang tentunya mereka masih belum lahir.

Hm.., bagaimana menurut Anda? Apakah orang-orang yang lahir pada 29 Februari lebih tepat untuk berdoa panjang umur dan sehat selalu pada 28 Februari atau 1 Maret?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun