Bahkan, tidak hanya Inter dan Conte yang dapat menjadi hadangan terbesar Juve, namun juga klub lain, seperti Lazio. Di musim ini, Lazio juga mampu tampil bagus dan membuat raihan poinnya hanya beda tipis dengan Inter dan Juventus yang secara berurutan berada di posisi pertama dan kedua dengan poin sama.
Melihat situasi tersebut, langkah Juventus untuk meraih gelar ke-9 dengan cara nine-streak pasti akan menemui hambatan. Ditambah dengan misi besar dari klub-klub lain untuk menyamakan level dengan Juventus.
Tidak dipungkiri bahwa parameter seluruh klub Serie A saat ini adalah Juventus. Juventus juga menjadi musuh utama semua klub di Serie A. Ada semangat besar bagi lawan-lawannya untuk dapat menjegal Juventus seperti yang dilakukan oleh Hellas Verona di pekan 23 kemarin.
Situasi ini juga merembet ke kompetisi lain, yaitu Coppa Italia. Perlu diketahui, bahwa mereka adalah salah satu semifinalis Coppa Italia 2020. Mereka berhadapan dengan AC Milan dan saling jegal untuk lolos ke partai puncak menantang pemenang antara Inter Milan atau Napoli.
Baca juga: Bersama Gattuso, Napoli Unpredictable
Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa Juventus harus tertahan di markas AC Milan dengan skor 1-1. Namun, itu bukan akhir, karena masih ada leg kedua dan akan berlangsung di Allianz Stadium, Turin. Jika Cristiano Ronaldo dkk. dapat mengalahkan AC Milan atau unggul agregat, maka ini masih menjadi momen bagus bagi Sarri bersama Juventus.
Namun, apakah kebersamaan itu akan tetap berlangsung meski mampu juara Coppa Italia? Bagaimana jika Juve malah kalah di final dan apalagi dikalahkan Inter?
Begitu pula dengan langkah mereka di Serie A. Memang masih ada lebih dari 10 pekan yang akan dilalui. Namun, jika Juventus gagal mempertahankan titel juara Serie A, maka peluang Sarri untuk bertahan di Turin semakin mengecil.
Lalu, apakah perlu ada pergantian pelatih? Apakah benar jika penggantinya adalah Josep "Pep" Guardiola? Mengapa harus dia?
Jika memang penggantinya adalah Pep Guardiola, itu adalah keputusan yang tepat bagi petinggi Juventus. Pertama, karena dirinya memiliki reputasi lebih tinggi dari Sarri dengan keberhasilannya meraih juara di tiga liga yang berbeda, ditambah dengan raihan trofi Liga Champions-nya bersama Barcelona.
Kedua, karena dirinya adalah pelatih yang pernah berperang strategi dengan Antonio Conte di dua musim Premier League, dan dia dapat menyaingi torehan gelar EPL Conte dengan "skor" 1-1. Conte juara di musim debutnya, Pep di musim keduanya dan dilanjut di musim berikutnya -tanpa Conte. Inilah yang akan membuat Inter Milan kembali terancam ketika mereka sedang berupaya membuat momentum kebangkitan dan menghalangi dominasi Juventus bersama Conte.