Hal ini dapat diperparah jika mereka merasa hidup dapat lebih makmur ketika tanggung jawab di rumah tangganya tidak banyak -anaknya hanya satu.Â
Apalagi jika kehidupan masyarakat Indonesia di masa depan semakin individualis dan materialis -dibuktikan dengan banyaknya pemukiman dengan model perumahan atau apartemen.Â
Maka, akan banyak upaya bagi masyarakatnya untuk meminimalisir risiko dari hubungan badan khususnya dengan kepemilikan banyak anak.
Memang ini masih menjadi prediksi. Namun jika keberadaan kontrasepsi untuk laki-laki tidak diiringi dengan self-controlling, maka itu hanyalah akan memunculkan banyak petaka baru di masa depan.
Padahal yang seharusnya diperhatikan dalam kehidupan berumahtangga adalah kualitas kita dalam mengontrol diri dan memahami apa arti pernikahan dan berhubungan badan. Bukan soal pencegahan kehamilan saja.
Karena, jika kita mampu mengontrol diri dengan baik dan diiringi dengan pemahaman tentang sex education, maka hal-hal yang berkaitan dengan "tanggul jebol" dan sejenisnya akan dapat diminimalisir.
Sehingga yang perlu terjadi di Indonesia bukan hanya soal penyuluhan (dan pemaksaan) pemakaian kontrasepsi untuk laki-laki, melainkan penyuluhan tentang sex education.Â
Ajak masyarakat untuk banyak menggunakan akalnya dalam mengatasi masalah seputar hubungan suami-istri, bukan hanya bergantung pada obat-obatan dan media sejenisnya.
Karena yang perlu dihindari di kemudian hari adalah akan banyak masyarakat yang semakin bergantung pada obat-obatan, bukan pelaksanaan kehidupan berdasarkan wawasan yang kian terasah. Ini yang patut diwaspadai dan dicegah.
Jadi, masihkah perlu menggunakan kontrasepsi?
Malang, 1 Februari 2020
Deddy Husein S.