Selama ini, publik penikmat sepak bola dunia menganggap Inggris dengan Premier League-nya adalah kompetisi tertinggi yang selalu menjadi tujuan para pesepakbola seantero dunia untuk beradu kualitas. Meski, pada kenyataannya, pemilik gelar terbanyak Liga Champions ada di tangan Real Madrid, si wakil Spanyol, namun belum puas rasanya bagi para pesepakbola hebat untuk tidak mencicipi atmosfer sepak bola Inggris.
Tanpa meremehkan kompetisi liga di negara Eropa lainnya, namun, pindahnya para pesepak bola dari Inggris ke luar Inggris adalah suatu peristiwa yang menghasilkan efek domino. Bisa bagus, bisa tidak.
Ada yang menganggap bahwa pergi dari Inggris sebaiknya menuju ke Liga Spanyol, dengan bergabung ke Real Madrid atau Barcelona. Disanalah mereka akan dapat menikmati masa puncak karir, baik secara individu maupun kolektif.
Contohnya, Luis Suarez yang hengkang dari Liverpool ke Barcelona. Perhitungannya ternyata tidak meleset. Karena mampu menjuarai La Liga dan Liga Champions bersama Barcelona.
Suatu hal yang juga dirasakan oleh Francesc Fabregas yang ingin merasakan gelar mayor di level klub dengan bergabung ke Barcelona. Eks kapten Arsenal itu pun akhirnya mampu merasakan gelar juara liga (La Liga) dimusim keduanya bersama Blaugrana dan meraih beberapa gelar dimusim sebelumnya.
Stereotip ini juga dipertegas dengan keberhasilan Alexis Sanchez yang merapat dari Udinese, klub Serie A, ke Barcelona. Juga Zlatan Ibrahimovic -dari Inter Milan- yang (mungkin) merasa Barcelona adalah jaminan untuk juara Liga Champions -misi besarnya sebagai pemain hebat.
Namun, sayangnya justru kepindahannya ke Barcelona membuat Inter Milan dapat meraih Liga Champions dan merasakan puncak kejayaannya sebagai klub terbaik Italia dan Eropa. Suatu prestasi yang masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi Juventus meski mereka sudah mampu mendominasi Serie A lebih dari 5 musim.
Meski dua klub La Liga itu menjadi tujuan para pesepakbola untuk meraih kesuksesan, khususnya kesuksesan kolektif, namun tetap saja daya tarik Premier League lebih besar. Hal ini dapat dipertegas dengan kehadiran banyak pemain hebat dan mengisi skuad timnas di seluruh penjuru dunia yang rata-rata bermain di Liga Inggris.
Namun, pada akhirnya semua pemain mengalami siklus perpindahan klub. Seperti Phillipe Coutinho dari Premier League ke La Liga (Barcelona) dan kini sedang menguji kualitas di Bayern Munchen (Bundesliga). Juga Romelu Lukaku yang akhirnya hengkang dari Manchester United untuk berlabuh ke Inter Milan, juga dengan pemain-pemain EPL lainnya yang memilih mencari pengalaman baru diluar negeri Ratu Elizabeth.
Itulah yang juga dilakukan oleh Christian Eriksen. Pemain timnas Denmark itu akhirnya hengkang dari Tottenham Hotspur setelah mengisi banyak headline di bursa transfer musim dingin ini. Namun, keputusan hengkangnya ternyata tidak ke Real Madrid, melainkan ke Inter Milan. Mengapa?
Namun, disisi lain, Eriksen terlihat membuang peluangnya untuk sukses secara kolektif bersama Real Madrid. Tanpa mengecilkan La Beneamata, jika dirunut secara sejarah beberapa musim terakhir, El Real adalah klub tersukses di Eropa dan dunia.
Gelar Liga Champions beruntun pernah ditorehkan dan itu selaras dengan gelar Piala Dunia Antarklub-nya. Sehingga, peluangnya untuk merasakan gelar-gelar yang sulit diraih bersama Spurs dapat terbuka lebar jika bergabung dengan Sergio Ramos dkk.
Situasi ini juga diperuncing dengan rekam jejak Antonio Conte yang masih kesulitan meraih trofi Liga Champions bersama Juventus -ataupun Chelsea- meski berhasil mengantarkan La Vecchia Signora mendominasi Serie A. Itu artinya, pengalaman Conte untuk memenangkan persaingan juara dengan klub terbaik Eropa masih belum maksimal.
Inilah yang kemudian menjadi pertanyaan bagi keputusan Eriksen, apakah benar jika dirinya akan sukses bersama Inter karena Conte?
Atau, keputusan ini adalah simbol penurunan daya saing Eriksen dengan pemain-pemain top assist di Premier League seperti Kevin De Bruyne (Manchester City), Adama Traore dan Raul Jimenez (Wolverhampton), juga Maddison yang disebut-sebut sebagai pemain tengah yang patut diperebutkan banyak klub besar.
Pertanyaan dan anggapan tersebut tidak lepas dari stereotip tentang Serie A yang dianggap tidak seketat Liga Inggris. Bahkan, para pemain yang dianggap terbuang dari Premier League justru menjadi diperhitungkan kembali saat bermain di Serie A.
Buktinya ada pada Mohamed Salah yang berhasil come back ke Premier League dengan modal tampil hebat bersama AS Roma setelah terbuang dari Chelsea. Lalu, ada Wojciech Szczesny yang dipinggirkan oleh Arsenal karena dianggap tidak mampu menjadi kiper tangguh dan harus rela digeser oleh kiper veteran Petr Cech.
Gambaran ini semakin diperjelas ketika Romelu Lukaku (Inter) dan Chris Smalling (AS Roma) menjadi andalan di klubnya masing-masing pasca menjadi bulan-bulanan fans di klub yang sama; Manchester United. Begitu pula dengan kembalinya Patrick Cutrone yang terlihat gagal beradaptasi dengan Wolves di Premier League, padahal sebelumnya dianggap buas di kotak penalti lawan saat ber-jersey AC Milan.
Inilah yang membuat penulis menanyakan tentang keputusan Eriksen pergi ke Serie A, meski disisi lain, penulis juga menyetujui keputusannya. Mengapa?
Sehingga, merapatnya Eriksen ke Internazionale bisa dijadikan sinyal waspada kepada Juventus, bahwa Inter sedang sangat serius untuk menghentikan dominasi Leonardo Bonucci dkk di Serie A. Namun, apakah misi itu akan berhasil?
Â
Hm.., rasanya patut untuk dinantikan laju Il Biscionne hingga akhir musim nanti bersama para pemain "alumni Premier League" tersebut.
Malang, 29 Januari 2020
Deddy Husein S.
Berita terkait:Â Goal.com (peresmian Eriksen), Okezone.com (menerka posisi bermain Eriksen), Bola.net (efek kehadiran Eriksen pada Alexis Sanchez).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H