Ketika dirinya menjadi jurnalis sepak bola pun sebenarnya dapat disebut prematur, karena seharusnya yang melakukannya adalah pesepakbola yang pensiun (sudah tidak terikat klub profesional) ataupun wartawan-wartawan yang memang ditempatkan di sepak bola ataupun memiliki ketertarikan lebih di sepak bola.Â
Namun, Bepe ingin menunjukkan bahwa pesepakbola juga boleh "mengeksploitasi" kehidupannya alias tidak hanya menjadi aktor di dalam lapangan tapi juga dapat menjadi pencerita di luar lapangan.
Apa yang dilakukan Bepe ini bisa saja didasari oleh kegemaran lain yang dimiliki suami Tribuana Tungga Dewi itu, yaitu membaca. Saya yakin bahwa seorang pembaca akan memiliki hasrat untuk menulis.Â
Jika tidak demikian, tidak mungkin seorang pesepakbola seperti Bepe dapat melahirkan tulisan ketika masih aktif bermain.
Yaitu membangun dirinya sendiri sebagai penulis, dan itu dilakukan step by step -dari jurnalisme, memiliki blog pribadi, hingga portal berita olahraga sendiri- hingga akhirnya dia dapat melahirkan buku.
Dia juga ingin membuktikan bahwa untuk menjadi pengamat sepak bola profesional, tidak harus hanya sebagai jurnalis -bagi orang umum, ataupun harus menunggu momen gantung sepatu -bagi pesepak bola, tapi dapat dilakukan oleh pesepak bola yang masih berstatus pesepak bola profesional.
Hal ini dikarenakan Bepe menunjukkan prosesnya untuk membangun diri agar tetap eksis dengan tidak takut untuk berkarya di bidang lain yang awalnya dianggap belum saatnya.