Sebenarnya bukan suatu hal yang mengejutkan jika sebuah film diangkat ke pementasan teater. Terbukti, ada pementasan "Harry Potter" di versi panggung teater dari Teater West End. Begitu pula dengan film "The Greatest Showman" yang mirip dengan pentas teater yang berkonsep teater musikal.
Artinya, diantara film dan teater tidak sepenuhnya terpisah. Hanya, media pertunjukkannya yang berbeda. Ini yang membuat masyarakat penonton diperbolehkan untuk menilai jika teater dan film harus dinikmati secara berbeda dan harus memiliki penikmat sendiri-sendiri.
Namun seharusnya tidak, karena terbukti diantara keduanya masih memiliki banyak elemen yang sama. Termasuk kisah yang diangkat, kedua bidang itu juga dapat menyajikan kisah yang sama meski harus menggunakan teknis yang berbeda. Sama halnya dengan apa yang dilakukan oleh Teater Cowboy yang merupakan organisasi seni teater di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.
Terlepas dari kekurangan teknis di sana-sini, apa yang dilakukan oleh Teater Cowboy adalah jendela bagi penonton teater untuk berharap bahwa tidak akan ada kemustahilan bagi mereka untuk menonton apa yang ditayangkan di film juga dipertunjukkan di panggung teater. Namun dengan catatan bahwa mereka harus memaklumi apa yang akan menjadi perbedaannya, alias tidak menyamakan standar penyajian kisahnya.
Lalu, apa yang menarik dari "Sweeney Todd" versi pementasan teater?
Konsep panggungnya terlihat sederhana--seperti gambar di bawah--namun sesuai dengan logika rumah yang ada di kisah Sweeney Todd. Seperti yang sudah diperlihatkan di filmnya, bahwa Todd memiliki rumah berlantai dua. Lantai pertama dijadikan sebagai tempat usaha kue pie (baca: pai) dan lantai dua diperuntukkan Todd membuka usaha cukur pasca bangkit dari permasalahan hidupnya.
Kesalahan yang dilakukan Anthony ini kemudian membuat penonton pasti berteriak dalam hati, "loh kok lompat?" dan beruntungnya hal itu disadari juga oleh pemeran Todd. Di sinilah Todd dapat membuat penonton terwakili suaranya, meski hal ini membuat ada dilematis juga bagi penonton lainnya.
Apakah boleh sang tokoh melakukan improvement semacam itu? Atau memang di pementasan teater, tokoh dapat melakukan hal yang sedemikian rupa untuk membuat pertunjukan tidak sepenuhnya kaku dan ketika salah juga tidak dibiarkan begitu saja. Inilah yang menjadi pertanyaan selanjutnya.