Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Apakah Sertifikasi Menjamin Kualitas Perkawinan?

22 November 2019   12:45 Diperbarui: 22 November 2019   13:27 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan. (Erabaru.net)


Saya berpikir bahwa sertifikasi perkawinan akan banyak disebut-sebut sebagai media untuk memperbaiki kualitas perkawinan yang terjadi di Indonesia. Entah, kualitas yang seperti apa. Namun, suatu ganjalan yang pasti terpikirkan adalah haruskah?

Haruskah negara mengeluarkan sertifikasi perkawinan untuk membuktikan bahwa si A, si B, si C sudah layak untuk menikah dan si X dan si O belum layak menikah?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu membandingkan dengan bagaimana lulusan akademik di Indonesia dapat "menaklukkan" kehidupan. Minimal dari segi pekerjaan. Apakah orang pintar secara ijazah dapat menjamin record pekerjaannya juga bagus?

Memang, dengan bukti ijazah yang mentereng dalam sekali lihat dapat menarik minat para pemilik lahan pekerjaan. Tapi, ketika melalui proses interview dan training, bisa saja pemilik ijazah tersebut gagal membuktikan bahwa apa yang tertancap di kertas itu juga ada di pikiran dan tindakannya.

Inilah yang kemudian menjadi persoalan. Apakah orang-orang yang kemudian mampu mempelajari teori-teori perkawinan tersebut kemudian mampu menjamin keberhasilannya dalam membangun biduk rumah tangga? Mungkin ada beberapa yang mampu melakukannya, tapi akan punya prosentase besar bagi mereka yang akan mengalami kegagalan. Mengapa?

Orang yang cenderung mampu mempelajari teori, biasanya akan mudah kecewa dengan realitas. Karena, realitas lebih sulit diprediksi dan dikontrol. Apakah kemudian kehidupan yang sangat dinamis ini perlu dikontrol dengan sertifikat juga?

Inilah yang perlu diwaspadai. Yaitu, sinkronisasi antara orang yang mampu menyelesaikan ujian dengan orang yang sulit menyelesaikan ujian. Justru, orang-orang yang terlihat mampu lulus ujian tepat waktu dan menghasilkan nilai yang bagus, tidak serta-merta mampu memperoleh hasil yang sesuai dengan apa yang sudah diupayakan tersebut.

Bahkan, dewasa ini tuntutan kehidupan di masyarakat akan lebih mengutamakan apa yang memang benar-benar dapat dilakukan orang tersebut. Misalnya, orang yang berijazah SMA mampu mendirikan outlet elektronik hingga bercabang-cabang di setiap kota dalam satu daerah dibandingkan lulusan S1 yang justru menjadi pegawainya.

Mengapa hal ini bisa terjadi?
Karena, si lulusan SMA itu tidak hanya lebih cepat mengarungi dunia pekerjaan, namun juga selalu bersemangat untuk mencari segala informasi demi mengejar kesetaraan intelektualitas (dengan orang yang lulusan lebih tinggi). Hal ini kemudian juga segera dipraktikkan hingga pada akhirnya dapat berkembang seperti apa yang sudah terlihat saat ini.

Berbeda ceritanya dengan apa yang dialami oleh si lulusan S1. Biasanya dengan kedok mahasiswa, orang ini sudah merasa bahwa segala ilmu sudah ada di kepalanya. Tinggal praktik dan praktik. Namun, pada kenyataannya tidak semua ilmu yang dipelajarinya dapat diwujudkannya, termasuk waktu dan ruangnya yang terkadang tidak sesuai dengan apa yang selama ini dipelajari.

Artinya, tidak semua bukti keberhasilan harus diberikan label. Apalagi secara tersurat. Karena, ini akan merubah mindset masyarakat, cepat atau lambat.

Bisa saja dengan akan adanya sertifikasi perkawinan, orang-orang akan ada yang berpikir pragmatis. Yaitu, jika ingin menunjukkan kualitas perkawinannya, maka perlu ditunjukkan dengan sertifikasi tersebut. Padahal ibu-bapak kita yang tak bersertifikasi tetap terbukti mampu menjaga kualitas perkawinannya hingga kita sebagai anak dapat tumbuh dan dewasa seperti saat ini.

Selain itu, dengan sertifikasi perkawinan tersebut apakah akan menjamin kelanggengan pernikahan? Apakah sertifikasi perkawinan juga secara tersirat akan memaksa pasangan-pasangan suami-istri itu harus menjaga hubungannya agar tetap langgeng meski sudah sangat tidak cocok -bahkan bisa saja sudah muncul KDRT?

Inilah yang menjadi gambling. Akan menjadi lelucon, jika kehidupan semakin banyak aturan dan standar. Sedangkan, itu semua diwujudkan dengan keterpaksaan hingga sistem lobbying semakin besar untuk bercokol di ranah kehidupan yang sebenarnya sangat privat tersebut.

Perkawinan bukanlah pekerjaan. Meski, kita sebagai manusia perlu untuk beregenerasi. Sama halnya pekerjaan yang sangat diperlukan sebagai lumbung untuk bertahan hidup. Namun, perkawinan adalah ranah pribadi. Setiap individu bahkan diperkenankan untuk menentukan sendiri apakah akan menikah atau tidak.

Begitu pula dengan keharusan memiliki pengetahuan tentang perkawinan. Untuk apa ada pelajaran Sosiologi, Biologi, Seni-Budaya, dan PKn, yang sebenarnya jika digabung dapat menjadi elemen-elemen yang menghasilkan modal untuk memahami apa itu perkawinan, bagaimana itu perkawinan, dan mengapa harus ada perkawinan. Apalagi jika ditambah dengan pendidikan agama. Maka, pemahaman terhadap perkawinan akan semakin lengkap.

Termasuk soal siapa yang mengajari dan menguji dalam proses sertifikasi. Apakah harus orang yang sudah terbukti langgeng dalam pernikahannya? Apakah harus orang-orang yang hanya paham ilmu agama? Atau jangan-jangan motivator perkawinan?

Itulah yang sangat perlu ditelisik. Orang yang langgeng pernikahannya apakah ada patokannya selain dua-duanya meninggal di masa tua? Orang yang paham ilmu agama apakah kemudian membuat cabang ilmu yang hanya khusus membahas perkawinan? Bagaimana dengan pemuka agama yang poligami dan yang tidak menikah ketika resmi dikultuskan?

Jika ujung-ujungnya adalah orang-orang yang melek agama, lalu apa fungsi pendidikan agama yang diajarkan sejak dini dan sejak sekolah dasar yang kemudian dapat mengarah ke pembangunan kehidupan melalui perkawinan. Apakah itu belum cukup?

Begitu pula dengan motivator perkawinan -jika ada. Lha wong motivator-motivator bidang lain saja terkadang hanya bermodal ppt yang sama dalam kurun 4 tahun diundang suatu instansi yang sama pula. Artinya, apa yang mereka lakukan juga belum tentu berkembang. Mereka bisa saja hanya mengandalkan keberhasilan di titik tertentu, lalu itulah yang ditunjukkan sebagai bukti dan untuk memotivasi orang lain. Apakah itu cukup?

Tentu saja tidak. Kehidupan manusia sangatlah kompleks. Begitu pula dalam hal perkawinan. Siapa yang dapat mengetahui akar permasalahan si A-B, si C-D, si E-F, dan lainnya? Apakah ragam permasalahan yang dimiliki mereka dapat dipukul rata dalam satu penanggapan dan penyelesaian yaitu melalui pertimbangan sertifikasi perkawinan?

Saya yakin, ide semacam ini lebih terdorong karena pemikiran ataupun kepentingan dari satu bidang tertentu saja yang kemudian menginginkan bahwa perkawinan masyarakat di Indonesia harus seperti yang diidealkan. Lalu, apakah mereka -yang menginginkan sertifikasi- sudah memikirkan apa yang terjadi nantinya di masyarakat -khususnya dalam hal kebudayaan?

Malang, 21-22 November 2019
Deddy Husein S.

Referensi:

Kompas.com dan Tirto.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun