Bisa saja dengan akan adanya sertifikasi perkawinan, orang-orang akan ada yang berpikir pragmatis. Yaitu, jika ingin menunjukkan kualitas perkawinannya, maka perlu ditunjukkan dengan sertifikasi tersebut. Padahal ibu-bapak kita yang tak bersertifikasi tetap terbukti mampu menjaga kualitas perkawinannya hingga kita sebagai anak dapat tumbuh dan dewasa seperti saat ini.
Selain itu, dengan sertifikasi perkawinan tersebut apakah akan menjamin kelanggengan pernikahan? Apakah sertifikasi perkawinan juga secara tersirat akan memaksa pasangan-pasangan suami-istri itu harus menjaga hubungannya agar tetap langgeng meski sudah sangat tidak cocok -bahkan bisa saja sudah muncul KDRT?
Inilah yang menjadi gambling. Akan menjadi lelucon, jika kehidupan semakin banyak aturan dan standar. Sedangkan, itu semua diwujudkan dengan keterpaksaan hingga sistem lobbying semakin besar untuk bercokol di ranah kehidupan yang sebenarnya sangat privat tersebut.
Perkawinan bukanlah pekerjaan. Meski, kita sebagai manusia perlu untuk beregenerasi. Sama halnya pekerjaan yang sangat diperlukan sebagai lumbung untuk bertahan hidup. Namun, perkawinan adalah ranah pribadi. Setiap individu bahkan diperkenankan untuk menentukan sendiri apakah akan menikah atau tidak.
Begitu pula dengan keharusan memiliki pengetahuan tentang perkawinan. Untuk apa ada pelajaran Sosiologi, Biologi, Seni-Budaya, dan PKn, yang sebenarnya jika digabung dapat menjadi elemen-elemen yang menghasilkan modal untuk memahami apa itu perkawinan, bagaimana itu perkawinan, dan mengapa harus ada perkawinan. Apalagi jika ditambah dengan pendidikan agama. Maka, pemahaman terhadap perkawinan akan semakin lengkap.
Termasuk soal siapa yang mengajari dan menguji dalam proses sertifikasi. Apakah harus orang yang sudah terbukti langgeng dalam pernikahannya? Apakah harus orang-orang yang hanya paham ilmu agama? Atau jangan-jangan motivator perkawinan?
Itulah yang sangat perlu ditelisik. Orang yang langgeng pernikahannya apakah ada patokannya selain dua-duanya meninggal di masa tua? Orang yang paham ilmu agama apakah kemudian membuat cabang ilmu yang hanya khusus membahas perkawinan? Bagaimana dengan pemuka agama yang poligami dan yang tidak menikah ketika resmi dikultuskan?
Jika ujung-ujungnya adalah orang-orang yang melek agama, lalu apa fungsi pendidikan agama yang diajarkan sejak dini dan sejak sekolah dasar yang kemudian dapat mengarah ke pembangunan kehidupan melalui perkawinan. Apakah itu belum cukup?
Begitu pula dengan motivator perkawinan -jika ada. Lha wong motivator-motivator bidang lain saja terkadang hanya bermodal ppt yang sama dalam kurun 4 tahun diundang suatu instansi yang sama pula. Artinya, apa yang mereka lakukan juga belum tentu berkembang. Mereka bisa saja hanya mengandalkan keberhasilan di titik tertentu, lalu itulah yang ditunjukkan sebagai bukti dan untuk memotivasi orang lain. Apakah itu cukup?
Tentu saja tidak. Kehidupan manusia sangatlah kompleks. Begitu pula dalam hal perkawinan. Siapa yang dapat mengetahui akar permasalahan si A-B, si C-D, si E-F, dan lainnya? Apakah ragam permasalahan yang dimiliki mereka dapat dipukul rata dalam satu penanggapan dan penyelesaian yaitu melalui pertimbangan sertifikasi perkawinan?
Saya yakin, ide semacam ini lebih terdorong karena pemikiran ataupun kepentingan dari satu bidang tertentu saja yang kemudian menginginkan bahwa perkawinan masyarakat di Indonesia harus seperti yang diidealkan. Lalu, apakah mereka -yang menginginkan sertifikasi- sudah memikirkan apa yang terjadi nantinya di masyarakat -khususnya dalam hal kebudayaan?