Hanya dalam satu musim, Persebaya menjadi salah satu klub di Liga 1 yang melakukan pergantian juru taktik hingga 4 kali (Persija dan Bhayangkara juga melakukan hal serupa).Â
Kita anggap pula peran Bejo Sugiantoro selama masa transisi pergantian pelatih dari Djadjang Nurdjaman ke Wolfgang Pikal dapat disebut sebagai pelatih Persebaya, walau disebut caretaker. Ditambah dengan mundurnya Pikal pasca-laga menjamu PS Sleman dan kini digantikan oleh Aji Santoso, maka Persebaya sudah dilatih oleh 4 orang berbeda hanya dalam satu musim. Lalu apa penyebabnya?
Sebenarnya dalam artikel sebelumnya (baca di sini), sudah disebutkan kemungkinan besar alasan dari adanya pergantian pelatih di tubuh Persebaya. Di situ pula, penulis mengungkapkan bahwa ada yang tidak beres dalam tubuh Persebaya. Yaitu, tentang apa target Persebaya (selanjutnya) ketika target awal gagal terealisasi--mungkin sebelumnya ingin juara.
Selain itu, di artikel lainnya (baca di sini) yang masih berkaitan dengan Persebaya adalah tentang suporternya. Di sini, suporter Persebaya seperti ingin bersuara sesuai apa yang mampu mereka pikirkan saja. Mereka tidak berpikir lebih jauh maupun bersedia untuk berkompromi dengan pihak klub dukungannya (manajemen dan tim).
Faktor internal dan eksternal inilah yang terduga telah membuat Persebaya harus berganti 4 orang pemimpin taktik hanya untuk mengarungi perjalanan semusim kompetisi. Sungguh unik!
Gambaran ini juga membuat penikmat sepak bola netral pun akan berpikir bahwa hanya untuk berada di Liga 1 harus bergonta-ganti pelatih.
Begitu pula dalam hal pemikiran untuk juara di Liga 1. Seolah, kita tidak lagi melihat proses. Semua berlomba ingin juara. Seolah lagi, kita semakin sulit menemukan pesan untuk legawa dalam bermain sepakbola. Ibaratnya, kalah dan degradasi adalah haram (mutlak dijauhi).
Memang, dalam permainan, kita harus menang. Tetapi ketika kita kalah apakah itu 100% tidak bisa kita terima? Termasuk ketika harus terdegradasi. Apakah kita akan sepenuhnya turun gengsi?
Jika harus sedikit berpikir jernih, juara kompetisi tidak harus dimenangkan oleh tim legendaris. Begitu pula dengan yang terdegradasi. Tidak selamanya yang kalah dan terdegradasi adalah tim-tim kemarin sore ataupun tim-tim yang berpenghuni pemain kelas bawah.
Bisa saja, tim legendaris dan tim yang berpenghuni skuad matang juga dapat kalah dan terdegradasi.
Namun, untuk menghindari itu, memang kita akan melihat tim-tim semacam itu akan berupaya kuat untuk bertahan. Bahkan, juga tidak menutup kemungkinan untuk kembali merangsek ke papan atas. Contoh paling tepat adalah Persipura.