Sehingga, ketika melihat klub dukungannya kalah, mereka hanya berpikir bahwa yang merasa kalah dan rugi adalah mereka. Mindset ini bisa saja masih ada di pikiran masyarakat Indonesia saat ini yang terlalu menggandrungi sepakbola dengan menyingkirkan akal sehatnya. Menyedihkan.
Faktor ketiga, adanya perasaan gengsi, prestis, dan ingin terlihat keren/garang ketika berani melakukan tindakan anarkisme. Jika faktor sebelumnya banyak berkutat pada hal-hal yang bersifat personality -motif internal komunal.Â
Sedangkan di faktor ini, kita lebih melihat adanya tindakan kerusuhan itu menjadi tindakan yang ditujukan untuk dapat dilihat dan dinilai orang lain.
Mereka yang merusuh bisa saja menganggap tindakan itu benar dan menjadi cara yang tepat untuk menunjukkan simbol eksistensi, perasaan rugi, hingga perasaan menjadi "pahlawan".
Tiga motif itu harus tersampaikan ke pihak lain, baik itu ke masyarakat umum, pihak klub, maupun ke antar suporter lainnya. Ada kemungkinan juga jika tindakan kerusuhan itu kemudian menjadi brand image bagi kelompok suporter tersebut.Â
Inilah yang menjadi permasalahan bagi pihak klub dan liga. Ketika mereka ingin menjangkau masyarakat penonton sampai ke level usia kecil dan kalangan perempuan, mereka harus melihat juga adanya regenerasi anarkisme di tubuh suporter -meskipun pelakunya disebut oknum.
Faktor terakhir yang kemudian dapat menjadi klimaks dari faktor sebelumnya adalah adanya tindakan meniru hooliganisme dari kelompok suporter luar negeri.Â
Sebagai negara berkembang yang kemudian selalu mengonsumsi informasi internasional, khususnya di bidang sepakbola, tentu membuka pintu gerbang bagi suporter-suporter di Indonesia untuk melakukan hal-hal yang serupa dengan apa yang dilakukan oleh suporter manca.
Sehingga, sifat keras, semangat tinggi, dan berjuang bersama seperti menjadi identitas mereka.