Masih banyak orang membicarakan kematian salah seorang figur publik Korea (Selatan) yang bernama Sulli. Sebenarnya, saya tidak begitu mengenal sosok Sulli, meski dirinya berembel-embel girlband f(x).
Jujur saja, saya cukup tahu nama-nama girlband asal Korea, khususnya yang melejit di tahun 2011-an. Salah satunya tentu f(x).
Namun, berhubung tidak ada lagu dari girlband tersebut yang menarik minat (selera) saya untuk mendengarnya secara intens saat itu, maka keberadaan f(x) pun bisa dikatakan hanya sebagai selentingan di ingatan saya. Bahkan, saya lebih mengingat T-ara karena lagu Roly Poly-nya.
Lalu, mengapa saya sangat tertarik menulis (artikel) tentang Sulli? Apakah saya ingin menjadi bagian dari penulis yang mendapatkan page views banyak? Jujur saja, terakhir saya mencoba mengikuti trend tentang public figure (Abimana) yang saya tulis, ternyata pv yang saya dapatkan juga tak seberapa (hehehe).
Selain itu, saya mengunggah tulisan ini cukup jauh dari kabar viralnya Sulli. Jadi, tak ada alasan bagi saya untuk memanfaatkan namanya secara besar -prosentasenya.
Alasan pertama saya menulis ini (tepatnya) adalah karena saya memang menjadi salah satu orang yang segenerasi dengan Sulli. Kematian Sulli membuat saya turut berduka, karena saya berpikir bahwa tekanan dunia saat ini sudah semakin besar untuk ditanggung generasi saya, dan itu dapat dilihat dari peristiwa menyedihkan ini.
Baca: Riwayat Karier Sulli (Cnbcindonesia.com)
Meski, saya bukan siapa-siapa dan juga tak ada kaitannya dengan Sulli. Namun, saya berpikir bahwa apa yang terjadi pada Sulli harus diwaspadai oleh pemuda-pemuda segenerasi dengan Sulli.
Saya yakin, bahwa tekanan yang serupa walau tak sama porsinya juga acapkali menghantui para generasi kelahiran 90-an yang saat ini sedang berusia matang. Hal ini yang membuat saya terdorong untuk (berpartisipasi) menulis artikel ini.
Alasan kedua saya adalah sampai saat ini saya masih berpikir bahwa media sosial (medsos) masih sangat patut diwaspadai. Mengapa? Karena, jika dulu tekanan batin kita masih berkutat pada gunjingan tetangga sebelah rumah. Kini, kita bisa tertekan oleh cemoohan dari orang-orang yang belum tentu tahu kita, alih-alih mengenali kita, dan itu karena medsos.
Baca: Mentalitas dan Media Sosial (Kompasiana)
Ini yang membuat saya ingin menyisipi pesan, bahwa medsos adalah dua mata pisau yang satu ujungnya dapat menusuk musuhmu dan satunya lagi dapat menusukmu juga, jika orang lain lebih kuat mendorongnya ke arahmu. Hal ini menurut saya sangat relevan dengan kehidupan Sulli sebagai figur publik.
Sejujurnya, saya juga mengenali sosoknya justru karena kabar-kabar kontroversialnya -dalam beberapa waktu terakhir- yang salah satunya adalah perihal gaya berpakaiannya yang seringkali terlihat tanpa bra. What's wrong?
Baca: Kontroversi Sulli (Viva.co.id)
Alasan ketiga adalah keinginan saya untuk menyisipkan teori Dramaturgi yang menurut saya sangat tepat untuk mengulik kehidupan figur publik dengan salah satunya melalui kehidupan Sulli. Bagi saya, pemikiran Erving Goffman dalam menilai realitas sosial, khususnya terhadap kehidupan setiap individu dapat "diminiaturkan" oleh keberadaan figur publik.
Baca: Dramaturgis Goffman (Silabus.web.id)
Berangkat dari alasan ketiga ini, saya membuat tiga kerangka berpikir untuk memudahkan pembaca dalam memahami adanya keterkaitan Sulli, Dramaturgi, dan Figur Publik.
Diawali dengan Sulli yang memiliki tiga kehidupan. Keinginan untuk terkenal, mendapatkan perhatian publik, dan adanya banyak tekanan.
Keinginan untuk terkenal sebenarnya dapat disanggah maupun diakui. Toh, buktinya Sulli dapat berkecimpung di dunia hiburan dalam kurun waktu yang lama. Setidaknya, jika dihitung dengan masa profesionalnya (bergabung di SM Entertainment), kita dapat memperkirakan jika masa aktif Sulli sebagai entertainer sudah mencapai satu dekadean.
Bahkan, sebenarnya Sulli sudah berkarier sebagai entertainer sebagai aktris sebelum menjadi anggota girlband f(x). Artinya, Sulli sudah berupa maju dan berkembang di dunia hiburan Korea dalam waktu yang lama. Ini tentu ada kaitannya dengan passion maupun keinginan untuk terkenal (melalui karya-karyanya).
Perihal kedua, menjadi figur publik dan juga bisa dikatakan sudah senior, maka Sulli pasti telah mendapatkan banyak perhatian dari masyarakat (Korea dan dunia). Maka, tidak memungkiri jika segala hal yang dia lakukan akan mendapatkan penilaian juga. Hal ini tentu memberikan plus-minus baginya saat itu.
Kehidupan ketiganya sebagai figur publik adalah keberadaan tekanan yang tak sedikit. Bahkan, tak hanya figur publik yang mendapatkan tekanan. Pekerja bangunan pun dituntut untuk dapat menghasilkan bangunan yang kokoh nan tepat oleh mandor dan pemesan jasanya. Apalagi, ini adalah figur publik yang kehadirannya pasti diharapkan selalu memberikan dampak yang positif bagi masyarakat (khususnya bagi penggemar).
Dari ketiga hal inilah kemudian kita dapat mengaitkannya dengan "kerangka hidup" pada dramaturgi dan figur publik. Menjadi figur publik, Sulli pasti harus memiliki front stage dan back stage.
Pada front stage, Sulli dituntut untuk kuat, selalu bahagia, menebar kebaikan, dan (nyaris) sempurna. Sedangkan pada back stage, Sulli pasti membutuhkan waktu untuk istirahat, kepemilikan rahasia kehidupan pribadi, ruang untuk bersama dengan dirinya sendiri, dan bebas.
Saya tidak menulis kebebasan. Karena, dengan kata bebas, pikiran saya adalah bebas untuk berekspresi, memperkenalkan dirinya, dan bebas untuk memilih apa yang dia inginkan.
Sama seperti kita yang terkadang ingin menentukan sendiri keinginan kita dan itu lebih dapat digambarkan dengan kata bebas dibandingkan kebebasan. Bagi saya, kata itu terlalu filosofis. Meski, sebenarnya kebebasan itu adalah rangkuman untuk menggambarkan apa yang saya sebutkan tadi.
Baca: Sulli dan Depresi (Kompas.com)
Lalu, di ranah umum -tidak hanya Sulli- kita dapat menemukan bahwa kebanyakan figur publik dituntut untuk dapat menjadi panutan. Inilah yang sangat sulit untuk dapat dipenuhi. Memang, dalam masa-masa tertentu seorang figur publik dapat menginspirasi banyak orang. Namun, di masa-masa tertentu lainnya, seorang figur publik juga dapat tersandung batu.
Contohnya, seperti apa yang dialami sejumlah figur publik di Indonesia. Mereka yang memiliki banyak penggemar juga pada akhirnya harus menunjukkan sisi gelapnya. Walau, itu juga tidak dapat dideskripsikan sebagai kegelapan.
Bisa saja keputusannya untuk melakukan hal-hal yang dinilai masyarakat adalah suatu hal yang negatif, justru (sebenarnya) menjadi media bagi figur-figur publik tersebut untuk tetap dapat eksis dan "menemani" waktu santai masyarakat ataupun penggemarnya.
Baca: Nunung dan Potret Buram Dunia Entertainment (Kompasiana)
Dari sini, tentu kita dapat mengetahui apa yang menjadi titik utama pada artikel ini. Yaitu, keutamaan pada sisi back stage pada figur publik yang harus dimengerti pula oleh masyarakat.
Artinya, semua figur publik pasti menginginkan adanya ruang dan waktu yang cukup untuk menikmati sisi back stage-nya, dan salah satu sisi back stage yang (mungkin) diharapkan oleh Sulli adalah bebas.
Dia ingin bebas. Entah apa perwujudan dari bebas itu, yang pasti dia ingin dirinya tidak mendapatkan banyak penilaian yang buruk. Karena, dengan hal itu dia dapat terhindar dari keterpurukan dan "terpenjara". Memang, dirinya tidak terpenjara secara tubuh.
Namun, secara perasaan dan pikiran, dia sudah kehilangan sisi back stage-nya dan hanya dapat menampilkan sisi front stage-nya yang sewaktu-waktu juga dapat hilang (terpenjara). Sayangnya, hilangnya sisi front stage itu adalah dengan hilangnya nyawa Sulli -nyawa figur publik.
Baca: Sulli Bisa Menjadi Simbol Kebebasan dan Feminisme (Cnbcindonesia.com)
Inilah yang membuat kita -yang hanya dapat menjadi orang yang jauh dari layar- patut merasa tertampar. Memang, bukan kita yang mati, namun dengan kematian Sulli yang tentunya tak diinginkan oleh banyak orang, membuat kita seperti ditunjukkan jalan kematian kita masing-masing. Yaitu, liang kesalahan.
Bagi saya, menjadi masyarakat biasa justru akan semakin banyak peluang kita untuk melakukan kesalahan. Karena, kita dapat melakukannya kapan saja dan di mana saja serta untuk siapa saja.
Sialnya, kita hanya dapat merawat segala tuntutan kita dan membiarkan orang-orang yang setiap hari harus terus tertawa itu menanggung kesalahan-kesalahan kita. Sungguh tragis!
Semoga tidak ada Sulli lainnya, dan tetap semangat untuk generasi saya! Kita pasti bisa!
Malang, 18-20 Oktober 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H