Dia ingin bebas. Entah apa perwujudan dari bebas itu, yang pasti dia ingin dirinya tidak mendapatkan banyak penilaian yang buruk. Karena, dengan hal itu dia dapat terhindar dari keterpurukan dan "terpenjara". Memang, dirinya tidak terpenjara secara tubuh.
Namun, secara perasaan dan pikiran, dia sudah kehilangan sisi back stage-nya dan hanya dapat menampilkan sisi front stage-nya yang sewaktu-waktu juga dapat hilang (terpenjara). Sayangnya, hilangnya sisi front stage itu adalah dengan hilangnya nyawa Sulli -nyawa figur publik.
Baca: Sulli Bisa Menjadi Simbol Kebebasan dan Feminisme (Cnbcindonesia.com)
Inilah yang membuat kita -yang hanya dapat menjadi orang yang jauh dari layar- patut merasa tertampar. Memang, bukan kita yang mati, namun dengan kematian Sulli yang tentunya tak diinginkan oleh banyak orang, membuat kita seperti ditunjukkan jalan kematian kita masing-masing. Yaitu, liang kesalahan.
Bagi saya, menjadi masyarakat biasa justru akan semakin banyak peluang kita untuk melakukan kesalahan. Karena, kita dapat melakukannya kapan saja dan di mana saja serta untuk siapa saja.
Sialnya, kita hanya dapat merawat segala tuntutan kita dan membiarkan orang-orang yang setiap hari harus terus tertawa itu menanggung kesalahan-kesalahan kita. Sungguh tragis!
Semoga tidak ada Sulli lainnya, dan tetap semangat untuk generasi saya! Kita pasti bisa!
Malang, 18-20 Oktober 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H