Waktu sudah berlalu dan pengumuman terhadap pemenang lomba puisi yang diadakan oleh organisasi kampus, MP3 juga sudah dapat dilihat di akun media sosial mereka. Memang saya tidak menang, namun masuk 10 besar saja saya sudah merasa senang. Karena, memang kali ini saya hanya mengejar pengalaman dan mengukur kelayakan tulisan saya khususnya di bidang perpuisian.
Jujur saja, niatan untuk kembali ikut lomba puisi adalah ketika saya mulai mengikuti proyek buku antologi yang diadakan oleh Komalku Raya, yang mana di situ membuka peluang para anggotanya maupun non anggota untuk berkontribusi. Karya yang dapat disetorkan pun beragam. Ada yang non fiksi dan karya fiksi.
Paling banyak karya fiksi adalah puisi dan cerpen, sedangkan esai dan reportase menjadi pilihan tepat bagi para penulis non fiksi yang ingin terlibat. Di situ, saya lebih memilih menyetorkan karya puisi. Pertimbangannya, karena menulis esai akan terlihat sangat polos dan saya juga menyadari jika saya salah satu orang yang tulisannya susah direm. Jadi, agar situasi para pembaca nanti kondusif dan tidak membuat buku tersebut dijual lagi atau dibuang -karena tulisan saya, maka saya lebih memilih puisi.
Memang, ini bukan berarti karya puisi saya lebih baik daripada karya non fiksi saya. Tapi, dengan melalui puisi, uneg-uneg saya akan terlihat lebih berwarna dibandingkan melalui esai. Selain itu, pembaca juga (bagi saya) akan lebih bebas menilai kualitas puisi saya dibandingkan esai yang lebih banyak bersifat informatif saja. Bagi saya, reaksi pembaca saat membaca esai saya hanya akan mendesah, "o... begitu".
Tentunya, ini bukanlah suatu hal yang menarik. Apalagi mengingat tulisan non fiksi saya juga belum seberapa bagusnya dibandingkan essay writers yang sudah malang-melintang di mana-mana. Oya, satu hal yang membuat saya lebih memilih untuk berpuisi di buku antologi tersebut adalah karena temanya.
Entah disebut tema atau judul bukunya, yang pasti buku tersebut ada embel-embel Malang (no spoiler). Yaitu, tentang salah satu kota di Jawa Timur. Karena, pengalaman hidup saya di Malang masih belum banyak, maka akan terasa sulit untuk memilih apa tulisan yang dapat saya hasilkan jika itu berkaitan dengan Malang.
Mengapa bukan cerpen?
Salah satu bentuk tulisan yang paling mendekati esai memang cerpen. Namun, di sini kekawatiran saya adalah karya saya akan banyak dibumbui curahan hati (curhat). Ini yang tidak menarik.
Bagi saya, karya yang terlalu personality akan membuat pembaca terkurung dan dia juga akan menjadi "sok tahu" terhadap penulisnya. Hal ini sering terjadi ketika pembaca mendapatkan bacaan yang sudah disematkan kata "FIKSI" namun pembaca masih menganggap jika karya itu masih (banyak) mewakili situasi terkini dari si penulis. Apakah itu benar dan boleh?
Bagi saya ketika menjadi pembaca, tentu boleh. Namun saya tetap merasa itu tidak benar, atau lebih tepatnya, kita (pembaca) lebih baik menahan diri untuk tidak berpikir bahwa itu adalah ungkapan curhat si penulis. Karena, kita harus menghargai segi kualitas penceritaannya, alih-alih mengulik personality penulisnya.
Sedangkan bagi saya yang berkesempatan menjadi penulis akan mengatakan bahwa itu tidak boleh namun bisa dibenarkan. Karena, tidak bisa dipungkiri bahwa setiap karya yang dihasilkan penulis selalu disisipi "aroma" dari penulisnya. Karena, dengan cara itu, setiap hasil karya tulisan yang dibaca oleh banyak orang pasti akan terasa berbeda-beda dan itu disebabkan oleh masing-masing "aroma" yang ingin dipersembahkan oleh penulisnya -termasuk saya.