Di situ juga mengungkap soal analogi peer dalam melihat situasi Indonesia saat ini sebagai negara berkembang. Di artikel tersebut (tiga tokoh muslim), penulis lebih memilih analoginya dengan masa pertumbuhan manusia, yaitu Indonesia saat ini seperti masa remaja. Mengapa?
Karena, kita masih labil dan itu juga dibahas oleh dua figur publik tersebut. Kelabilan inilah yang membuat situasi sosial saat ini kurang kondusif. Ditambah dengan peristiwa-peristiwa politik yang (semakin) sulit untuk dicerna masyarakat.
Hal ini juga dibahas oleh Deddy Corbuzier yang menyebutkan bahwa masyarakat saat ini bingung. Apalagi bagi yang sudah terlanjur mengikuti dua sisi yang berbeda saat pemilu kemarin; Jokowi dan Prabowo. Namun, di sini penulis juga mengungkapkan pendapat tentang bagaimana sebaiknya kita saat melihat situasi sosial-politik terkini.
Pertama, jangan terlalu fanatik. Kita boleh memilih siapa saja di masa pemilu kemarin. Namun, selesai pemilu, selesai pula urusan tentang pro nomor 1 atau nomor 2. Ketika memilih yang berhasil menang, berarti kita mengawasi kinerjanya. Ketika yang dipilih tidak berhasil menang, segera kembali fokus ke urusan pribadi masing-masing.
Bahkan sebenarnya ketika yang dipilih sudah menang, kita juga otomatis harus kembali ke urusan kita masing-masing. Karena, kehidupan kita masih sekian persen banyak membutuhkan perhatian, keputusan, dan tindakan kita. Sisanya baru dibantu oleh pihak-pihak di sekeliling kita termasuk pemerintah.
Kedua, jangan melihat pemerintah adalah musuh. Memang, tidak memungkiri banyak kebijakan pemerintah yang bisa disebut "kacau-balau", namun bukan berarti mereka adalah pihak yang wajib dimusuhi. Karena, mereka juga sebenarnya berupaya membangun negara. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa pola kerja mereka juga hampir 11-12 dengan pola kerja orang-orang di organisasi (ada fase bagus dan tidaknya).
Artinya, kesalahan-kesalahan pasti akan terjadi, baik disengaja maupun tidak. Jadi, ketika kita hendak mengeluarkan kritikan, sasarkan itu berdasarkan tindakannya saja bukan berdasarkan personalitas. Karena, jika yang dilakukan adalah "penyerangan individu" maka kita sudah tidak mawas diri. Apakah kita jika mendapatkan peran yang serupa (menjadi pemerintah) akan menjamin keberhasilan dan pengakuan positif dari pihak lain (masyarakat)?
Ketiga, adalah intropeksi diri. Memang, godaan untuk dapat menjatuhkan orang lain itu sulit untuk dihindari. Namun, sebelum merasa orang lain lebih buruk, kita harus becermin terlebih dahulu. Karena, sebenarnya di antara kita juga masih banyak kesalahan. Bukan hanya ranah moralitas -yang giat digembleng oleh KPI melalui tontonan dan konten di media penyiaran, melainkan juga soal nilai dan norma.
Meski moralitas ini dapat menentukan bagaimana kualitas setiap individu menjalankan nilai dan norma. Namun, ketika pemahaman terhadap moralitas hanya sebatas berdasarkan aturan agama, maka yang nilai-norma yang dibangun berdasarkan logika kemanusiaan bisa saja diabaikan.
Contohnya sudah ada di cerita Indro Warkop tentang adanya orangtua yang membonceng anak dan mengendarai kendaraan melawan arah -peraturan jalannya satu arah. Tanpa melihat apa agama orang itu, kita sudah dapat melihat bahwa orangtua pun dapat melakukan kesalahan dan itu berdasarkan nilai (keselamatan) dan norma (peraturan).
Artinya, kita dibayang-bayangi oleh banyak tindakan yang melanggar peraturan dibandingkan menjalankan apa yang baik untuk dilakukan. Belum lagi, jika kemudian orang-orang yang lemah secara tatanan diri ini mendapatkan stimulus untuk mengikuti apa yang terlihat "keren". Salah satunya adalah mengkritisi pemerintah ataupun kepala negara. Kawatirnya, kita yang berupaya ingin seperti para kritikus politik di pertelevisian itu, justru menjadi orang yang tidak memanfaatkan demokrasi di negara ini dengan baik, dan kita akhirnya semakin kebablasan. Ironis!