Cukup panjang obrolan antara Indro Warkop DKI dengan Deddy Corbuzier di channel Youtube host Hitam Putih tersebut. Diawali dengan ungkapan-ungkapan yang mengkritisi tingkat intelijensia orang-orang saat ini hingga kemudian membahas masa pemerintahan mana yang dinilai sang komedian legenda tersebut paling enak.
Jawabannya adalah dua, yaitu di masa pemerintahan Soekarno dan masa pemerintahan Jokowi. Di masa pemerintahan Soekarno, menurut Indro adalah masa yang mana kekuatan keluarga sangat menentukan generasi. Sedangkan di masa Jokowi, enaknya karena di masa sekarang suara dapat keluar lebih bebas, termasuk menghina presiden.
Indro juga membandingkan zaman sekarang dengan zaman Orde Baru yang mana kebebasan bersuara sangat berbeda jauh. Di masa kepemimpinan Soeharto, masyarakat khususnya kaum mahasiswa kesulitan untuk mengungkapkan pendapat atau kritikan. Bagi dirinya, beruntung Warkop sudah punya nama, sehingga kritikan ataupun celotehan satirnya tidak membuat mereka hilang.
Tonton videonya di sini:
Situasi ini jelas berbeda dengan saat ini yang mana masyarakat dari golongan apapun mampu mengungkapkan pendapatnya hingga penghinaan terhadap kepala negara. Inilah yang kemudian membuat Indro Warkop merasa Indonesia sedang berada di fase demokratis yang kebablasan.
"Mohon maaf, walau saya dari keluarga Jawa, menurut saya Pak Jokowi itu terlalu Jawa."---Indro Warkop.
Begitulah yang diungkap oleh Indro terhadap pola pemerintahan presiden saat ini. Menurutnya, apa yang terjadi saat ini akibat dari tidak adanya upaya untuk menghentikan tindakan-tindakan yang sudah dapat digolongkan sebagai kriminalitas. Terakhir, pesan yang dapat diambil dari Indro Warkop adalah tentang pola mengkritik. "Kritiklah berdasarkan kinerjanya, bukan orangnya."
Ungkapan itu juga disetujui oleh Deddy Corbuzier. Namun, yang menjadi menarik adalah ketika Deddy menyebut tentang adanya orang-orang yang pemikirannya bagus namun justru mereka diam saja (tidak mengkritik). Pernyataan ini juga ternyata diakui oleh Indro Warkop. Bahkan, dirinya juga mengakui bahwa dia salah seorang yang juga demikian.
Jawabannya adalah karena orang-orang yang melek pemikiran juga kawatir dinilai salah ketika berbicara. Pernyataan ini seolah menjawab apa yang selama ini penulis juga pikirkan ketika melihat orang-orang yang melek pemikiran justru seperti padi yang merunduk, bahkan sangat merunduk. Hal ini pernah penulis ungkap di artikel "Tiga Tokoh Muslim Ini Selaras dengan Pola Pikir Indonesia".
Artikel itu terunggah di masa Ramadan kemarin (27/5) dan mengungkapkan tentang situasi Indonesia saat ini yang sangat membutuhkan orang-orang yang "cerdas". Mungkin ini seperti diskusi awal mula yang melibatkan Indro Warkop dan Deddy Corbuzier, yaitu tentang pembagian otak.
Di situ juga mengungkap soal analogi peer dalam melihat situasi Indonesia saat ini sebagai negara berkembang. Di artikel tersebut (tiga tokoh muslim), penulis lebih memilih analoginya dengan masa pertumbuhan manusia, yaitu Indonesia saat ini seperti masa remaja. Mengapa?
Karena, kita masih labil dan itu juga dibahas oleh dua figur publik tersebut. Kelabilan inilah yang membuat situasi sosial saat ini kurang kondusif. Ditambah dengan peristiwa-peristiwa politik yang (semakin) sulit untuk dicerna masyarakat.
Hal ini juga dibahas oleh Deddy Corbuzier yang menyebutkan bahwa masyarakat saat ini bingung. Apalagi bagi yang sudah terlanjur mengikuti dua sisi yang berbeda saat pemilu kemarin; Jokowi dan Prabowo. Namun, di sini penulis juga mengungkapkan pendapat tentang bagaimana sebaiknya kita saat melihat situasi sosial-politik terkini.
Pertama, jangan terlalu fanatik. Kita boleh memilih siapa saja di masa pemilu kemarin. Namun, selesai pemilu, selesai pula urusan tentang pro nomor 1 atau nomor 2. Ketika memilih yang berhasil menang, berarti kita mengawasi kinerjanya. Ketika yang dipilih tidak berhasil menang, segera kembali fokus ke urusan pribadi masing-masing.
Bahkan sebenarnya ketika yang dipilih sudah menang, kita juga otomatis harus kembali ke urusan kita masing-masing. Karena, kehidupan kita masih sekian persen banyak membutuhkan perhatian, keputusan, dan tindakan kita. Sisanya baru dibantu oleh pihak-pihak di sekeliling kita termasuk pemerintah.
Kedua, jangan melihat pemerintah adalah musuh. Memang, tidak memungkiri banyak kebijakan pemerintah yang bisa disebut "kacau-balau", namun bukan berarti mereka adalah pihak yang wajib dimusuhi. Karena, mereka juga sebenarnya berupaya membangun negara. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa pola kerja mereka juga hampir 11-12 dengan pola kerja orang-orang di organisasi (ada fase bagus dan tidaknya).
Artinya, kesalahan-kesalahan pasti akan terjadi, baik disengaja maupun tidak. Jadi, ketika kita hendak mengeluarkan kritikan, sasarkan itu berdasarkan tindakannya saja bukan berdasarkan personalitas. Karena, jika yang dilakukan adalah "penyerangan individu" maka kita sudah tidak mawas diri. Apakah kita jika mendapatkan peran yang serupa (menjadi pemerintah) akan menjamin keberhasilan dan pengakuan positif dari pihak lain (masyarakat)?
Ketiga, adalah intropeksi diri. Memang, godaan untuk dapat menjatuhkan orang lain itu sulit untuk dihindari. Namun, sebelum merasa orang lain lebih buruk, kita harus becermin terlebih dahulu. Karena, sebenarnya di antara kita juga masih banyak kesalahan. Bukan hanya ranah moralitas -yang giat digembleng oleh KPI melalui tontonan dan konten di media penyiaran, melainkan juga soal nilai dan norma.
Meski moralitas ini dapat menentukan bagaimana kualitas setiap individu menjalankan nilai dan norma. Namun, ketika pemahaman terhadap moralitas hanya sebatas berdasarkan aturan agama, maka yang nilai-norma yang dibangun berdasarkan logika kemanusiaan bisa saja diabaikan.
Contohnya sudah ada di cerita Indro Warkop tentang adanya orangtua yang membonceng anak dan mengendarai kendaraan melawan arah -peraturan jalannya satu arah. Tanpa melihat apa agama orang itu, kita sudah dapat melihat bahwa orangtua pun dapat melakukan kesalahan dan itu berdasarkan nilai (keselamatan) dan norma (peraturan).
Artinya, kita dibayang-bayangi oleh banyak tindakan yang melanggar peraturan dibandingkan menjalankan apa yang baik untuk dilakukan. Belum lagi, jika kemudian orang-orang yang lemah secara tatanan diri ini mendapatkan stimulus untuk mengikuti apa yang terlihat "keren". Salah satunya adalah mengkritisi pemerintah ataupun kepala negara. Kawatirnya, kita yang berupaya ingin seperti para kritikus politik di pertelevisian itu, justru menjadi orang yang tidak memanfaatkan demokrasi di negara ini dengan baik, dan kita akhirnya semakin kebablasan. Ironis!
Malang, 13 Oktober 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H