Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dilema Mahasiswa Saat Ini

26 September 2019   10:13 Diperbarui: 27 September 2019   04:27 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan Mahasiswa melakukan aksi demo di Depan Gedung DPR/MPR, Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (23/9/2019). Mereka menolak pengesahan RKUHP. (KOMPAS.com/M ZAENUDDIN)

Sebenarnya ini adalah ungkapan yang murni dari apa yang saya alami saat ini. Sebagai salah seorang pemuda yang masih berstatus mahasiswa, saya hampir tidak pernah turun ke jalan. 

Kalaupun ingin bersuara, saya manfaatkan bidang yang pernah saya tempati waktu itu. Misalnya dengan berkegiatan di teater kampus.

Karena, kebetulan pementasan-pementasan yang diselenggarakan teater saya saat itu sering mengangkat isu-isu sosial-politik, maka, saya sudah merasa cukup untuk bersuara melalui panggung pertunjukan tersebut. 

Meski, saya akui bahwa itu bukan suara pribadi, melainkan suara komunal yang dibalut oleh kreativitas dalam berkesenian. Bagi saya, cara seperti ini bagus walau mungkin terkesan lambat untuk ngena di "mereka" yang sebenarnya menjadi sasarannya.

Sebagai mahasiswa berbasis sosial-politik juga, mungkin saya adalah segelintir orang yang memilih untuk tidak pernah turun ke jalan. Ada beberapa faktor yang membuat saya tidak melakukan long march.

Pertama, karena faktor keselamatan. Berhubung saya di sini tinggal jauh dari orangtua (Jawa-Kalimantan), maka saya ingin meringankan beban orangtua saya agar tidak memikirkan nasib saya secara berlebihan ketika saya menjadi mahasiswa. 

Apalagi ketakutan orangtua saya ketika saya memutuskan menjadi mahasiswa adalah keberanian untuk turun ke jalan. Padahal, pada kenyataannya saya tidak seberani itu. Hehehe....

Kedua, faktor kesehatan
. Tanpa harus turun ke jalan, demo, dan sering bertemu dengan orang, saya sudah sering sakit-sakitan, alih-alih menjadi mahasiswa aktivis. 

Bagi saya, untuk menjadi mahasiswa aktivis, kita tidak hanya harus pandai berteriak, melainkan harus memiliki badan yang selalu fit. Tujuannya supaya kita dapat kapan saja turun ke jalan dan selalu fokus dengan tujuannya -berteriak melawan kebijakan yang tidak rasional.

Faktor ketiga adalah efektivitas. Tidak semua kejanggalan di dalam tubuh pemerintah dapat dihadang melalui demonstrasi. Namun, untuk kali ini, saya berpikir bahwa sudah saatnya para mahasiswa turun ke jalan. Mengapa?

Pasal-pasal yang menuai kontroversi. (Cnbcindonesia.com)
Pasal-pasal yang menuai kontroversi. (Cnbcindonesia.com)

Karena, segala gagasan dari mereka (yang duduk di kursi parlemen) sedang berada dalam kejanggalan yang luar biasa. Alih-alih membawa Indonesia ke tatanan yang lebih dewasa dan demokratis, kita malah semakin melihat masa depan Indonesia ada dalam kungkungan "orangtua" yang over protective.

Saya menyebutnya demikian, karena apa yang ada di gagasan mereka cenderung seperti peraturan orangtua yang sangat menjaga anaknya untuk tidak dapat melakukan hal-hal yang dianggap menyimpang. Ini lucu. Karena, miniatur pemerintah bukanlah sosok orangtua.

Miniatur pemerintah adalah organisasi. Sedangkan organisasi seketat apapun, mereka tidak akan pernah pantas untuk memberikan peraturan ketat kepada anggotanya. Begitu pula dengan pemerintah (parlemen).

Bagi saya, jika pemerintah sedemikian kerasnya dalam mengatur kehidupan masyarakat -hingga ke ranah privasi, maka yang terjadi adalah masyarakat akan bertindak seperti anak-anak yang mendapatkan kungkungan dari orangtuanya; PEMBERONTAKAN!

Bahkan, jika dikembalikan pada miniatur organisasi, kita juga bisa melihat bahwa anggota-anggota yang mendapatkan peraturan ketat dan super ketat dari organisasi tersebut akan berupaya untuk keluar.

Jadi, bagaimana dengan nasib masyarakat Indonesia jika hal semacam ini berlangsung pula di dalam kehidupan yang berskala besar; NEGARA!

Pasal-pasal kontroversi 2. (Liputan6.com)
Pasal-pasal kontroversi 2. (Liputan6.com)
Saya tidak tahu apa yang dibicarakan apalagi yang dipikirkan oleh mereka yang ada di parlemen. Apakah mereka berpikir bahwa kejahatan itu harus ditanggulangi berdasarkan akibat? 

Contohnya, jika seseorang memiliki ayam dan kemudian ayam itu bermain di lahan perkebunan orang lain, apakah itu dikarenakan pemilik ayam itu tidak menjaga ayamnya agar tidak berada di lahan orang lain? 

Apakah pemilik ayam sengaja membiarkan ayamnya merusak lahan orang lain? Apakah kemudian ayam itu juga bersalah karena dia tidak diajari untuk menjaga sikap?

Padahal, kejadian semacam itu bisa disebabkan karena lahan tersebut tidak dilindungi pagar yang anti tembus oleh hewan-hewan sejenis unggas hingga hewan peliharaan seperti kucing dan anjing. 

Artinya, kejahatan itu disebabkan oleh adanya celah, bukan akibat dari kelalaian. Karena, kelalaian itu hampir pasti dimiliki dan dialami oleh manusia. Bukankah masyarakat adalah manusia dan bukankah orang-orang di parlemen juga manusia?

Nah, jika berbicara soal orang parlemen yang juga manusia, maka tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga akan berpikir bahwa kelalaian mereka yang kemudian salah satu wujudnya adalah korupsi adalah suatu hal yang wajar. Bukannya manusia (parlemen) bisa lalai, Deddy?

Bagi saya, orang yang sudah berada di kursi parlemen adalah orang-orang yang hidupnya setidaknya lebih baik dibandingkan orang-orang yang masih tidur beralas tanah kuburan dan beratap daun-daun pohon Kamboja. 

Bahkan, nasib paling baik bagi orang-orang yang tak berumah itu adalah ketika dapat tidur di emperan toko Cino yang masih baik menyediakan satu meter ubin dan seng untuk menjadi tempat merajut mimpi.

Jadi, akan terasa konyol jika mereka yang sudah dapat duduk di kursi parlemen masih saling berupaya menimbun uang hanya untuk melicinkan birokrasi. 

Padahal perputaran birokrasi itu berada di lingkaran mereka, lalu mengapa mereka masih saling suap-menyuap? Inilah yang menjadi pertanyaan balik kepada mereka dan juga menjadi sumber keheranan (saya) terhadap apa yang terjadi di tubuh pemerintahan yang kebetulan paling vital itu.

Perihal yang membuat saya heran adalah jika pihak pemerintah, khususnya bagian parlemen tidak dapat bekerja sebagaimana idealnya, mengapa mereka tidak sekalian mengajak rakyat untuk berbuat sama? 

Mengapa tidak, mereka mengajak seluruh elemen di negara ini bertindak "semau gue" saja? Artinya jika ingin bobrok, sekalian saja.

Namun, pada kenyataannya hal ini tidak demikian. Karena, memang tidak mungkin kita harus hidup dengan langit yang gelap. Kita perlu langit yang cerah dan hawa yang segar dan dapat dihirup dengan lega. 

Maka, dari itu solusi dari segala praktik kejahatan di Indonesia baik itu yang dilakukan oknum pemerintah (parlemen-komite) maupun oknum rakyat adalah pencegahan. Kalaupun ingin menumpas kejahatannya, yang ditumpas adalah akarnya, bukan ujungnya.

Memangnya, siapa yang ingin jadi gelandangan?

Siapa yang ingin jadi pelaku pelecehan seksual (pemerkosaan) jika biaya pernikahan (administrasi), mahar (penebusan ke mertua), dan biaya kehidupan lainnya -setelah menikah- sangat mahal?

Siapa pula yang ingin menyantet orang lain, jika antara satu orang dengan orang yang lain saling menghujat dan ngepoin kehidupannya masing-masing?

Bagi saya akarnya yang paling krusial untuk diperhatikan. Para oknum tidak akan sepenuhnya jera jika hanya dihajar dengan hukuman. Bahkan, mereka bisa jadi akan semakin dendam ketika disakiti. 

Artinya, jika memang pemerintah -yang kali ini adalah pihak parlemen- ingin menjadikan diri mereka sebagai miniatur orangtua, maka mereka harus siap menerima kenyataan bahwa rakyat yang diatur akan semakin marah. 

Karena, rakyat bukan miniatur anak. Rakyat adalah masyarakat yang paham aturan, namun juga punya hak pribadi yang mana itu harus dijaga dan dihormati (kecuali hak untuk melanggar lalu-lintas karena jaraknya dekat).

Bukan karena adanya gelandangan yang menjadi kriminal, lalu pihak hukum mendendanya dengan nominal satu juta rupiah. Memangnya, dari mana pula mereka dapat membayar itu jika tidak dari hasil "jarahannya"?

Logika sederhana semacam ini terasa seperti tidak dipakai saat pasal di dalam RUU terdapat kejanggalan dalam menghukum gelandangan.

Contoh praktik kejahatan di kalangan gembel/pengemis/gelandangan: Bocah penipu yang mengaku terlantar

Memang saya akui, bahwa ada gelandangan-gelandangan yang ternyata memiliki kemampuan menggendam orang-orang yang nahas. Namun, bukan berarti mereka ditangkap lalu didenda. 

Melainkan, mereka ditangkap lalu direhabilitasi. Mereka harus memiliki ruang untuk belajar kembali menjadi orang "normal". Itulah yang seharusnya dilakukan.

Begitu pula jika terdapat praktik pemerkosaan. Bukan berarti perempuan harus dilarang keluar rumah (kost/kontrakan/asrama), melainkan dengan memperbanyak kamera CCTV di setiap jalan perkampungan -khususnya di area perkotaan terlebih dahulu. 

Cara semacam inilah akan lebih efektif dalam mencegah, dibandingkan harus mengurusi tindakan yang sudah terjadi. Karena, siapa tahu praktik pemerkosaan itu juga bukan karena adanya akibat dari perempuan yang keluar malam dan berdandan cantik. Tetapi, hal semacam ini bisa terjadi disebabkan oleh minimnya pengawasan lingkungan dari perangkat setempat.

Bahkan, berangkat dari cara semacam itu (pemasangan CCTV di perkampungan) bisa membuat kita sadar bahwa segala permasalahan di Indonesia tidak harus ditanggung oleh pemerintah pusat, melainkan juga dari kemandirian pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya masing-masing. 

Ketika dari daerah dapat mengusulkan dan membuat peraturan yang efektif, maka pihak pemerintah pusat pun dapat mendukungnya dengan memberikan suplai vital kepada pemerintah daerah.

Seharusnya seperti itu. Namun, jika pada akhirnya mindset orang parlemen adalah menghadapi akibat, maka tidak mengherankan jika kini mereka mendapatkan gelombang perlawanan dari masyarakat, khususnya dari mahasiswa. 

Bahkan, dari yang saya lihat, ini adalah aksi besar yang benar dan sesuai dengan kapasitas mahasiswa yang selalu mampu berpikir logis. Inilah yang kemudian perlu dipertimbangkan dan bahkan harus ditanggapi positif oleh pemerintah khususnya pihak parlemen.

Ilustrasi demo 2. (Serujambi.com)
Ilustrasi demo 2. (Serujambi.com)
Apakah mereka tidak malu telah disadarkan oleh para pemuda yang mana mereka nantinya akan menggantikan posisi mereka sebagai penggerak roda kehidupan negara ini. 

Secara pribadi saya dilema dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Karena, semasa saya masih aktif kuliah di kelas, saya berpikir bahwa kita (rakyat dan pemerintah) harus bersatu. Kita tidak boleh saling mencela -pemerintah mencela rakyat dan rakyat mencela pemerintah. Artinya, kita harus padu.

Inilah yang membuat saya menjadi mahasiswa saat itu tidak pernah ingin turun ke jalan. Karena, di pikiran saya selalu tertanam hal-hal yang positif di pemerintah, walau saya adalah rakyat dan bukan dari golongan kelas menengah-atas. 

Contoh yang ada di pikiran saya ketika ber-positive thinking adalah pemerintah pasti berisikan orang-orang yang masih memikirkan kesejahteraan masyarakat. 

Pemerintah juga berisikan orang-orang yang ingin masyarakat aman. Bahkan, saya menduga bahwa pemerintah juga merupakan orang-orang yang ingin masyarakatnya santuy.

Namun, kini saya melihat bahwa pemerintah (parlemen) dan komite-komitenya (seringkali juga bias/dianggap sebagai bagian dari pemerintah) semakin ke sini, semakin sering menghasilkan sensasi. Inilah yang membuat saya dilema. Apa bedanya dengan rakyat biasa yang kadang juga memilih untuk berbuat kontroversi? 

Lalu, bagaimana nasib mahasiswa yang selalu berupaya berada di tengah-tengah, namun pada kenyataannya ada praktik-praktik kejomplangan yang terjadi secara signifikan seperti saat ini.

Inilah yang membuat saya kali ini cenderung mendukung keputusan mahasiswa turun ke jalan. Karena, mereka yang ada di kursi parlemen sudah kehilangan kesehatannya. 

Mereka sudah berani menjadi orangtua rakyat yang mana rakyat pasti menolak itu. Lha wong, anak nakal saja seringkali tidak suka mendapatkan hukuman dari gurunya ketika dia merasa bahwa yang memberi dia makan adalah orangtuanya, bukan gurunya. 

Pemikiran semacam ini juga logis untuk dikedepankan oleh rakyat. Memangnya pemerintah sudah memberikan "makanan" kepada rakyat, sampai-sampai rakyat harus diatur sedemikian rupa?

Bukankah rakyat masih harus menentukan garis hidupnya sendiri-sendiri untuk mencapai kesejahteraannya? Buktinya, orangtua saya masih menjadi pedagang. Orangtua teman saya masih menjadi petani yang hasil panennya seringkali bergantung pada kesuburan tanah dan pasokan air. 

Begitu pula dengan orangtua teman saya yang bekerja di pertambangan. Mereka juga masih harus bertaruh nyawa meski pundi-pundi rupiahnya terlihat lebih besar dari pekerjaan lain.

Artinya, pemerintah dengan rancangan undang-undangnya tidak sepenuhnya berhak mengatur masyarakat. Apalagi jika masyarakat yang disasar di RUU ini cenderung merupakan kaum proletar (meminjam istilah populer dari Karl Marx). 

Mereka itu harusnya dirangkul dengan kebaikan, bukan dengan hukuman. Hidup mereka (maaf) sudah paling sial dibandingkan yang lain, jadi untuk apa mereka mendapatkan hukuman? Apakah supaya mereka cepat punah?

Begitu pula dengan perihal porno-pornoan. Bagi saya, sebejat-bejatnya manusia dalam hal seksualitas, itu tidak hanya karena rangsangan birahi dari lawan jenis, melainkan juga dari pemahamannya terhadap apa itu seks, bagaimana itu seks, mengapa harus ada seks, dan kapan seks itu boleh terjadi. 

Itulah yang harus "ditancapkan" di kepala masyarakat. Bukan soal seberapa besar hukuman yang diberikan untuk membuat jera, melainkan seberapa luas masyarakat mendapatkan edukasi terhadap seks.

Jujur saja, melihat hal semacam ini yang sampai diurus oleh negara membuat saya malu ketika menjadi mahasiswa yang tidak turun ke jalan. Karena, saya masih berharap bahwa pemerintah seharusnya dapat menjadi segerombol manusia yang selangkah-dua langkah "lebih dewasa" daripada rakyat. Namun, kali ini saya tidak menemukan itu.

Sebagai bagian akhir dari tulisan saya tentang polemik Indonesia kali ini, saya berharap bahwa negara ini cepatlah dewasa dan segera beralih ke hal-hal yang lebih penting untuk kemajuan negara ini. Karena, setahu saya misi negara saat ini adalah menjadi negara maju.

Namun jika ingin maju, mengapa masih harus ngurusin (maaf) selangkangan rakyat? Apakah selangkangan "Anda" sudah tertata? Jika sama-sama belum, ya biarkan rakyat yang menentukan sendiri "arah selangkangannya". 

Sekali lagi, rakyat bukan anak kecil. Bahkan, tidak jarang dan tidak sedikit pula dari mereka dapat bertindak dan berpikir lebih dewasa dari "orangtuanya".

Malang, 25-26 September 2019
Deddy Husein S.

Perhatian: Silakan klik tulisan-tulisan bercetak biru untuk memperoleh tambahan bacaan yang komprehensif. Terima kasih!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun