Mereka sudah berani menjadi orangtua rakyat yang mana rakyat pasti menolak itu. Lha wong, anak nakal saja seringkali tidak suka mendapatkan hukuman dari gurunya ketika dia merasa bahwa yang memberi dia makan adalah orangtuanya, bukan gurunya.Â
Pemikiran semacam ini juga logis untuk dikedepankan oleh rakyat. Memangnya pemerintah sudah memberikan "makanan" kepada rakyat, sampai-sampai rakyat harus diatur sedemikian rupa?
Bukankah rakyat masih harus menentukan garis hidupnya sendiri-sendiri untuk mencapai kesejahteraannya? Buktinya, orangtua saya masih menjadi pedagang. Orangtua teman saya masih menjadi petani yang hasil panennya seringkali bergantung pada kesuburan tanah dan pasokan air.Â
Begitu pula dengan orangtua teman saya yang bekerja di pertambangan. Mereka juga masih harus bertaruh nyawa meski pundi-pundi rupiahnya terlihat lebih besar dari pekerjaan lain.
Artinya, pemerintah dengan rancangan undang-undangnya tidak sepenuhnya berhak mengatur masyarakat. Apalagi jika masyarakat yang disasar di RUU ini cenderung merupakan kaum proletar (meminjam istilah populer dari Karl Marx).Â
Mereka itu harusnya dirangkul dengan kebaikan, bukan dengan hukuman. Hidup mereka (maaf) sudah paling sial dibandingkan yang lain, jadi untuk apa mereka mendapatkan hukuman? Apakah supaya mereka cepat punah?
Begitu pula dengan perihal porno-pornoan. Bagi saya, sebejat-bejatnya manusia dalam hal seksualitas, itu tidak hanya karena rangsangan birahi dari lawan jenis, melainkan juga dari pemahamannya terhadap apa itu seks, bagaimana itu seks, mengapa harus ada seks, dan kapan seks itu boleh terjadi.Â
Itulah yang harus "ditancapkan" di kepala masyarakat. Bukan soal seberapa besar hukuman yang diberikan untuk membuat jera, melainkan seberapa luas masyarakat mendapatkan edukasi terhadap seks.
Jujur saja, melihat hal semacam ini yang sampai diurus oleh negara membuat saya malu ketika menjadi mahasiswa yang tidak turun ke jalan. Karena, saya masih berharap bahwa pemerintah seharusnya dapat menjadi segerombol manusia yang selangkah-dua langkah "lebih dewasa" daripada rakyat. Namun, kali ini saya tidak menemukan itu.
Sebagai bagian akhir dari tulisan saya tentang polemik Indonesia kali ini, saya berharap bahwa negara ini cepatlah dewasa dan segera beralih ke hal-hal yang lebih penting untuk kemajuan negara ini. Karena, setahu saya misi negara saat ini adalah menjadi negara maju.
Namun jika ingin maju, mengapa masih harus ngurusin (maaf) selangkangan rakyat? Apakah selangkangan "Anda" sudah tertata? Jika sama-sama belum, ya biarkan rakyat yang menentukan sendiri "arah selangkangannya".Â