Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dilema Mahasiswa Saat Ini

26 September 2019   10:13 Diperbarui: 27 September 2019   04:27 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasal-pasal kontroversi 2. (Liputan6.com)

Bagi saya akarnya yang paling krusial untuk diperhatikan. Para oknum tidak akan sepenuhnya jera jika hanya dihajar dengan hukuman. Bahkan, mereka bisa jadi akan semakin dendam ketika disakiti. 

Artinya, jika memang pemerintah -yang kali ini adalah pihak parlemen- ingin menjadikan diri mereka sebagai miniatur orangtua, maka mereka harus siap menerima kenyataan bahwa rakyat yang diatur akan semakin marah. 

Karena, rakyat bukan miniatur anak. Rakyat adalah masyarakat yang paham aturan, namun juga punya hak pribadi yang mana itu harus dijaga dan dihormati (kecuali hak untuk melanggar lalu-lintas karena jaraknya dekat).

Bukan karena adanya gelandangan yang menjadi kriminal, lalu pihak hukum mendendanya dengan nominal satu juta rupiah. Memangnya, dari mana pula mereka dapat membayar itu jika tidak dari hasil "jarahannya"?

Logika sederhana semacam ini terasa seperti tidak dipakai saat pasal di dalam RUU terdapat kejanggalan dalam menghukum gelandangan.

Contoh praktik kejahatan di kalangan gembel/pengemis/gelandangan: Bocah penipu yang mengaku terlantar

Memang saya akui, bahwa ada gelandangan-gelandangan yang ternyata memiliki kemampuan menggendam orang-orang yang nahas. Namun, bukan berarti mereka ditangkap lalu didenda. 

Melainkan, mereka ditangkap lalu direhabilitasi. Mereka harus memiliki ruang untuk belajar kembali menjadi orang "normal". Itulah yang seharusnya dilakukan.

Begitu pula jika terdapat praktik pemerkosaan. Bukan berarti perempuan harus dilarang keluar rumah (kost/kontrakan/asrama), melainkan dengan memperbanyak kamera CCTV di setiap jalan perkampungan -khususnya di area perkotaan terlebih dahulu. 

Cara semacam inilah akan lebih efektif dalam mencegah, dibandingkan harus mengurusi tindakan yang sudah terjadi. Karena, siapa tahu praktik pemerkosaan itu juga bukan karena adanya akibat dari perempuan yang keluar malam dan berdandan cantik. Tetapi, hal semacam ini bisa terjadi disebabkan oleh minimnya pengawasan lingkungan dari perangkat setempat.

Bahkan, berangkat dari cara semacam itu (pemasangan CCTV di perkampungan) bisa membuat kita sadar bahwa segala permasalahan di Indonesia tidak harus ditanggung oleh pemerintah pusat, melainkan juga dari kemandirian pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya masing-masing. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun