Bagi saya, orang yang sudah berada di kursi parlemen adalah orang-orang yang hidupnya setidaknya lebih baik dibandingkan orang-orang yang masih tidur beralas tanah kuburan dan beratap daun-daun pohon Kamboja.Â
Bahkan, nasib paling baik bagi orang-orang yang tak berumah itu adalah ketika dapat tidur di emperan toko Cino yang masih baik menyediakan satu meter ubin dan seng untuk menjadi tempat merajut mimpi.
Jadi, akan terasa konyol jika mereka yang sudah dapat duduk di kursi parlemen masih saling berupaya menimbun uang hanya untuk melicinkan birokrasi.Â
Padahal perputaran birokrasi itu berada di lingkaran mereka, lalu mengapa mereka masih saling suap-menyuap? Inilah yang menjadi pertanyaan balik kepada mereka dan juga menjadi sumber keheranan (saya) terhadap apa yang terjadi di tubuh pemerintahan yang kebetulan paling vital itu.
Perihal yang membuat saya heran adalah jika pihak pemerintah, khususnya bagian parlemen tidak dapat bekerja sebagaimana idealnya, mengapa mereka tidak sekalian mengajak rakyat untuk berbuat sama?Â
Mengapa tidak, mereka mengajak seluruh elemen di negara ini bertindak "semau gue" saja? Artinya jika ingin bobrok, sekalian saja.
Namun, pada kenyataannya hal ini tidak demikian. Karena, memang tidak mungkin kita harus hidup dengan langit yang gelap. Kita perlu langit yang cerah dan hawa yang segar dan dapat dihirup dengan lega.Â
Maka, dari itu solusi dari segala praktik kejahatan di Indonesia baik itu yang dilakukan oknum pemerintah (parlemen-komite) maupun oknum rakyat adalah pencegahan. Kalaupun ingin menumpas kejahatannya, yang ditumpas adalah akarnya, bukan ujungnya.
Memangnya, siapa yang ingin jadi gelandangan?
Siapa yang ingin jadi pelaku pelecehan seksual (pemerkosaan) jika biaya pernikahan (administrasi), mahar (penebusan ke mertua), dan biaya kehidupan lainnya -setelah menikah- sangat mahal?
Siapa pula yang ingin menyantet orang lain, jika antara satu orang dengan orang yang lain saling menghujat dan ngepoin kehidupannya masing-masing?