Dari praktik itu, kemudian muncul reaksi dari si sasaran -yang memperoleh julukan. Mereka ada yang "masa bodo", ada pula yang enggan mendapatkan julukan tersebut. Bahkan, ada yang berusaha untuk menolak secara tegas (dilakukan secara berulang) terhadap pemberian julukan tersebut.
Alasannya tentu bermacam-macam. Ada yang merasa bahwa menerima julukan itu maka akan menyugesti dirinya menjadi sosok yang sesuai dengan julukan tersebut. Jika memang julukan tersebut menyugesti ke arah yang positif, mungkin tidak masalah. Namun, bagaimana jika malah sebaliknya?
Selain itu, ada pula yang berpikir bahwa menerima julukan tersebut -apalagi jika terlihat kurang baik- maka akan mengecewakan orangtuanya. Karena, tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan nama yang kita sandang adalah pemberian dari orangtua. Kecuali kalau kita adalah anak bungsu atau memiliki kakak, maka ada kemungkinan nama kita adalah hasil dari pemikiran dan pengharapan dari mereka yang tentunya ingin melihat kita pantas menyandang nama tersebut.
Nama memang seperti label. Namun, hanya nama yang tidak bisa dicopot dengan mudah apalagi jika dibubuhi istilah mantan. Misalnya, jika si Cundra (nama ilustrasi) adalah penulis atau sastrawan yang (biasanya) memiliki nama pena -menjadi Gandewa. Lalu, ketika karya-karyanya semakin dikenal -bersama pula dengan nama penanya, apakah kemudian ada istilah atau penyebutan kepada orang tersebut bahwa dia adalah mantan pemilik nama Cundra?
Inilah yang membuat nama itu tetap melekat kepada seseorang bahkan meski orang tersebut telah memiliki nama pena termasuk mengganti nama -seperti Abimana. Namun, apa yang dilakukan Abimana sepertinya memang perlu dilakukan jika hal itu dapat memberikan dampak yang positif, baik secara individual maupun komunal dan lingkungan.
Bagi penulis, nama itu ibarat harta warisan. Meski kemudian kita memiliki label lain termasuk gelar (akademis) dan nama panggung. Kita tetaplah akan menjaga nama pemberian dari orangtua. Apabila kemudian kita masih memiliki permasalahan seperti halnya krisis identitas, maka kita harus mencoba mencari cara agar permasalahan tersebut dapat terselesaikan.
Salah satunya dapat dengan mengganti nama. Namun, seperti yang dialami oleh Abimana, bahwa nama aslinya tetap ada meski kini dia lebih dikenal sebagai Abimana daripada Robertino. Hanya, dia memang secara psikologis sangat membutuhkan stimulus untuk berubah (menjadi pribadi yang lebih baik), sehingga mengganti nama bisa menjadi solusi terbaiknya.
Dari pengalaman Abimana itulah, kita bisa melihat bahwa nama itu tidak hanya asal tempel. Selalu akan ada makna, termasuk memberikan kepercayaan diri bagi pemilik nama tersebut dalam membentuk diri dan menguatkannya sebagai bentuk eksistensi -memberikan pengaruh- kepada lingkungan interaksinya.
Sehingga, jika masih ada yang meremehkan nama -apalagi nama orang lain- maka itu juga akan membuat kita juga melakukan tindakan menyakiti perasaan, dan bahkan juga dapat merusak kepercayaan diri (jati diri) seseorang. Maka dari itu, kita patut menghargai keberadaan nama, seperti apapun orang yang telah memiliki nama tersebut. Karena, nama adalah salah satu harta yang berharga yang selalu perlu dipikirkan secara matang, baik oleh yang memiliki nama maupun oleh yang telah memberikan nama.
Malang, 18-19 September 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H