Begitu pula ketika kita menjadi pendatang dan berbuat onar, juga akan diolok-olok berdasarkan asal-muasal. Hal ini juga akan diperparah dengan perbedaan ras yang dapat menimbulkan rasisme.
Cara keempat, tidak membalas pelecehan (diskriminasi) ataupun rasisme dengan tindakan yang lebih menyakiti banyak pihak (secara general). Biasanya, rasisme itu lebih banyak dialami perorangan dibandingkan per kelompok. Kalaupun per kelompok, biasanya akan menghitung jumlahnya alias banyak-banyakan orangnya yang terlibat.
Karena, tidak banyak orang yang berani nekad mengolok-olok orang lain ketika jumlah orang lain lebih banyak. Artinya, orang yang melakukan rasisme itu adalah pecundang, sehingga tidak mungkin berani melakukannya ketika dirinya tidak memiliki "back-up" kuat di belakangnya.
Maka karena itu, bagi korban rasisme, alangkah-baiknya tidak membalasnya dengan tindakan lain ataupun tindakan yang lebih parah. Tindakan rasisme memang merupakan tindakan yang kejam. Karena, tindakan tersebut menyangkut pada harkat-martabat manusia. Sehingga membalas tindakan rasisme juga tidak seratus persen salah, namun tetaplah harus diperhatikan konteks dan konsekuensinya.
Jika merujuk pada pengalaman pribadi penulis, penulis yang hampir "kekenyangan" sebagai korban rasisme sejak kecil, akan memilih jalur yang lebih elegan ketika harus menghadapi rasisme. Yaitu, menaikkan kualitas diri.
Tindakannya bisa berupa belajar lebih giat ataupun menunjukkan kapasitas ketika terjadi challenge atau ujian saat sekolah. Dari situlah, orang lain akan dapat melihat bahwa orang yang dianggap "berbeda" juga mempunyai kemampuan, apalagi jika kemampuan itu malah tidak dimiliki oleh pelaku rasisme.
Contoh paling mudah adalah kemampuan berbahasa "pribumi". Karena sudah berada di Jawa sejak kecil, maka kemampuan penulis dalam berbahasa Jawa pun tidak perlu diragukan. Termasuk ketika harus berbahasa Jawa halus (krama inggil).Â
Begitu pula dengan kemampuan membaca dan menulis aksara Jawa (hanacaraka). Di sinilah letak pembalasan yang harus dilakukan korban rasisme, yaitu berani survive dengan menunjukkan kualitas diri tanpa harus menyakiti balik orang lain yang kebetulan menjadi pelaku rasisme.
Cara seperti ini tergolong lebih ampuh (untuk membalas) dibandingkan melakukan kekerasan apalagi jika sampai menimbulkan korban jiwa. Rasa sakit dari rasisme memang besar, bahkan bisa membekas dan menjadi trauma seumur hidup. Namun, ketika kita dapat menaikkan standar kemampuan kita, maka nilai keberadaan kita akan menjadi sama penting seperti orang lain.
Karena, ketika kita mampu melakukan apa yang bisa dilakukan oleh "pribumi" akan membuat kita "setara" dengan mereka. Bahkan, bisa jadi akan lebih baik dibandingkan mereka yang memiliki identitas sebagai orang asli daerah tersebut.
Baca juga: Rasisme: Ber-Bhinneka Tunggal Ika tapi Tidak Seiring dengan Toleransi