Jayapura itu telah mengantongi gelar juara ISL tiga kali; 2009, 2011, dan 2013. Inilah yang membuat mereka adalah salah satu tim raksasa di Indonesia yang uniknya terletak sangat jauh dari ibukota. Namun, mereka nyatanya mampu hadir di persepakbolaan tanah air sebagai salah satu tim kuat yang sekaligus menjadi barometer sukses dalam pembangunan sepakbola nasional.
Bagi penikmat sepakbola era Indonesia Super League (ISL) tentu sudah faham dengan judul tersebut. Karena memang sepakbola di era ISL sangat seru dan juga sangat identik dengan Persipura. Klub asalDi era itu pula sepakbola Indonesia terasa sangat dekat dengan kualitas pertandingan. Terbukti pula bahwa timnas Indonesia masih tidak pernah lepas dari 4 besar ketika berlaga di AFF dan sempat cukup konsisten ikut Piala Asia. Suatu hal yang kini terasa seperti sangat sulit.
Secara kualitas memang sepakbola era ISL seperti sudah cukup ideal. Apalagi mereka seperti liga-liga luar negeri yang juga punya laga pramusim dengan mengadakan persahabatan antara klub asing dengan ISLÂ All Stars (bukan timnas Indonesia/Garuda Select). Terdengar mirip pramusim yang saat ini tergelar di Amerika Serikat dengan adanya MLS All Stars vs Athletico Madrid (dimenangkan Los Rojiblancos).
Namun di balik kualitas mereka yang tinggi, ada kelemahan pula di sana. Yaitu mentalitas dan emosi. Para pemain Indonesia, baik di level klub dan timnas masih sering memprotes keputusan wasit (khususnya) ketika ada pelanggaran. Ini yang membuat mereka kesulitan ketika harus bertanding di level internasional.
Ditambah lagi dengan performa wasit yang lebih sering membuat keputusan kontroversial. Ini yang membuat Indonesia tidak kunjung memiliki wasit standar internasional. Bahkan, wasit yang berlabel FIFA saat itu hanya Jimmy Napitupulu. Itupun terkadang performanya masih ada kekurangan -sebagai wasit standar FIFA.
Meski demikian, beruntungnya Indonesia berhasil melahirkan klub-klub kuat yang memang murni kuat secara permainan di atas lapangan. Hal ini dapat dilihat dengan konsistensi klub-klub tersebut berada di zona papan atas ISL setiap musim. Sebut saja Sriwijaya FC (SFC), Arema Indonesia (sekarang Arema FC), dan tentunya Persipura.
Ketiga tim itulah yang bergantian mewakili Indonesia di level Asia. Piala AFC dan Liga Champions Asia bukanlah kompetisi asing bagi ketiga klub tersebut saat itu. Bahkan Indonesia tergolong sebagai pemilik klub kuat di level Piala AFC (kasta kedua kompetisi antar klub se-Asia). Itu terbukti dengan keberhasilan Persipura menjejak kompetisi hingga fase semifinal (bukan semifinal zona ASEAN). Suatu hal yang masih belum dapat diulangi oleh klub-klub Indonesia dewasa ini.
Berbicara tentang Persipura, kita tidak bisa mengabaikan sosok jenius asal Brazil, Jacksen Ferreira Tiago. Mantan pemain Persebaya di era 90-an itu berada di klub "Mutiara Hitam" sebagai pelatih. Bersama Persipura pula, dirinya berhasil menjadi salah seorang pelatih terbaik di Indonesia. Hal ini yang membuat PSSI meliriknya untuk melatih timnas Indonesia.
Memang, karirnya di timnas Indonesia tidak secemerlang di Persipura. Namun, bersama Persipura kala itu, dia dapat membuktikan diri sebagai pelatih kedua -sepanjang sejarah klub- yang mampu mengolah talenta emas Papua. Perlu diketahui bahwa Persipura awalnya mengecup trofi juara Liga Indonesia (Divisi Utama) bersama Rahmad Darmawan. Pelatih yang kemudian juga mampu berjaya bersama SFC di era ISL.
Dua nama inilah yang kemudian seringkali bentrokan secara sengit dalam beradu taktik. Dua pelatih tersebut bagaikan Sir Alex Ferguson dan Arsene Wenger di Premier League. Entah siapa yang "menjadi" Fergie dan Profesor, yang terpenting mereka adalah pelatih terhebat di Indonesia kala itu. Uniknya, keduanya pernah membawa Persipura berjaya. Suatu hal yang kemudian menjadi pekerjaan berat bagi manajemen Persipura dalam tiga musim terakhir. Ada apa Persipura?
Kekuatan finansial adalah poin krusial bagi sebuah klub untuk berjaya.
Jika kembali merujuk pada era ISL, kesuksesan Persipura kala itu tak hanya karena kualitas permainan (pemain dan pelatih). Mereka juga disebut-sebut sebagai salah satu klub yang memiliki finansial tersehat di kompetisi. Suatu hal yang kemudian disamai oleh Sriwijaya FC dan terbukti SFC juga mampu konsisten berada di papan atas bersama Persipura.
Kekuatan finansial inilah yang membuat Persipura mampu memiliki pemain-pemain terbaik di persepakbolaan Indonesia. Mereka tidak hanya diperkuat oleh talenta lokal, melainkan juga pemain-pemain luar Papua yang berkualitas tinggi. Salah satunya tentu adalah Jendri Pitoy.
Salah satu penjaga gawang terbaik Indonesia itu bahkan cukup lama berada di Persipura. Dia pun menjadi bagian dari legenda bersama trio Papua; Eduard "Edu" Ivakdalam, Gerald Pangkali, dan Ortizan Solossa. Keberhasilan Persipura dalam "menjaga" pemain-pemain terbaiknya kemudian berlanjut ke era Boaz Solossa, Ian Louis Kabes, Yoo Jae Hoon, Bio Paulin, dan Victor Igbonefo.
Lima pemain yang seperti nyawa bagi kesuksesan Persipura itu juga mampu dipertahankan sampai akhirnya era sepakbola Indonesia mengalami kehancuran. Saat itu ISL hanya mampu menyisakan duel akhir yang mempertemukan Persib dan Persipura (2014). Persipura memang gagal juara. Namun itu adalah bukti paling mutakhir (yang dapat dilihat oleh penikmat bola era ISL) tentang kejayaan Persipura yang masih dapat relevan dengan kondisi saat ini.
Kebangkitan sepakbola Indonesia yang sulit diikuti oleh klub-klub kuat di era ISL.
Sepakbola Indonesia akhirnya kembali hidup dari mati surinya dan era kompetisi menjadi Liga 1 (2017) seperti yang kita ketahui saat ini. Memang, jika dilihat dari keberadaan kompetisi tahun 2015 dan 2016, sepakbola Indonesia masih "hidup" dan di situ klub-klub yang sarat prestasi masih cukup mampu bertahan (di level atas) dan salah satunya tentu Persipura.Â
Namun, kekacauan dunia sepakbola Indonesia itu pada akhirnya perlahan nan pasti meruntuhkan dominasi klub-klub yang hidup dengan keseimbangan finansialnya. Nahasnya, itu juga terjadi pada Persipura.
Arema Indonesia yang kemudian harus bersusah payah bertranformasi menjadi Arema FC juga awalnya terseok-seok di Liga 1. Situasi paling parah bahkan terjadi di eks klub komentator Ponaryo Astaman, Sriwijaya FC. Klub kuat asal Palembang itu harus terdegradasi ke Liga 2 musim 2018.
Kini, Persipura pun berada di zona bahaya yang sama seperti SFC. Mereka bahkan sempat menghuni zona merah dalam beberapa pekan di paruh pertama musim 2019 ini. Namun, tim manajemen (sepertinya) tidak ingin mengalami nasib serupa dengan rival berat era ISL itu. Keputusan mereka pun dapat disebut tepat. Karena, mereka "memulangkan" sang pemberi tiga gelar juara liga, Jacksen F. Tiago.
Kembalinya Jacksen ke Persipura pun terlihat mulai ada perubahan. Boaz dkk bahkan mampu menang di dua pertandingan secara beruntun. Optimisme mereka pun cukup terlihat ketika mereka bertandang ke Gelora Bung Tomo kemarin (2/8). Meski akhirnya mereka harus mengakui keperkasaan sang tuan rumah, Persebaya, dengan skor 1-0.
Namun dengan kekalahan tipis itu, Persipura masih pantas untuk bermimpi tentang romantisme mereka bersama Jacksen di masa lalu. Mereka harus dapat menjadikan referensi sejarah mereka di era ISL untuk modal kebangkitan sebagai klub kuat. Toh, masih ada Boaz, Ian Kabes, Ricardo Salampessy, dan Imanuel Wanggai sebagai bagian dari pemain senior Persipura eks ISL. Termasuk pulangnya Titus Bonai (Tibo) ke klub "Hitam Merah" itu.
Harapan kebangkitan pada kepulangan Jacksen ke Persipura.
Kembalinya Jacksen juga diharapkan dapat mengembalikan gaya main yang berkualitas (cepat dalam menyerang dan tenang dalam ball possession) khas Persipura. Harapan lainnya tentu tentang finansial Persipura yang harus kembali sehat, agar para pemain terbaik yang mereka miliki tetap bertahan. Termasuk harus ada pemain-pemain dari luar Papua yang berkualitas mumpuni untuk bergabung ke Persipura.
Mereka harus memiliki lagi maestro pemain tengah seperti Robertino Pugliara dan penyerang tajam seperti Alberto Goncalves. Memang, ini artinya impor kualitas. Namun jika itu dapat memberikan mereka jaminan kembali ke papan atas, mengapa tidak?
Jika memang tidak ingin mengeluarkan uang banyak untuk pemain asing di sektor itu (tengah dan depan), maka Persipura harus berani mendekati pemain-pemain Indonesia yang terbukti bagus dan berjam terbang tinggi. Tim manajemen harus berani mencoba menawarkan tempat lini tengah mereka untuk Evan Dimas (Barito Putera). Kehadiran Evan Dimas akan membuat Persipura cukup komplit. Karena, mereka tidak hanya akan mengandalkan kekuatan dan kecepatan, melainkan juga kecerdasan. Mereka butuh pemain tengah yang mampu menguasai bola dan playmaker sejati seperti Evan Dimas.
Keberadaan pemain seperti Evan Dimas akan membuat kualitas Boaz di depan dapat terdukung dengan baik. Boaz yang sarat pengalaman tentu akan semakin ringan tugasnya di Persipura jika ada Evan Dimas. Karena, dia akan lebih fokus mencetak gol dibandingkan harus bahu-membahu membangun serangan dari lini kedua.
Ini juga akan menarik ketika mereka masih memiliki pemain-pemain cepat nan atraktif seperti Tod Ferre dan Tibo. Mereka akan dapat fokus mengobrak-abrik garis terakhir pertahanan lawan dibandingkan mengambil bola dari belakang. Inilah yang harus dilakukan Persipura jika mereka ingin sukses kembali bersama Jacksen.
Persipura harus berani belanja pemain selain mengorbitkan talenta Papua.
Kunci kebangkitan mereka tidak hanya selesai pada misi memulangkan Jacksen, namun juga harus membangun skuad yang lebih komplit dan merata. Karena penurunan kualitas mereka di awal musim ini bukan semata-mata karena taktik eks pelatih mereka, Luciano Leandro. Salah satu penyebab lain dari merosotnya Persipura adalah terlalu banyaknya pemain bertipikal petarung, alih-alih pemain kreatif. Inilah yang membuat mereka kini seperti klub yang Boaz-sentris.
Pembenahan skuad harus dilakukan Persipura di jeda musim nanti dengan mendatangkan pemain kreatif. Mereka dapat mencoba membarter In Kyun Oh dengan Shohei Matsunaga (PSIS) untuk slot pemain asing Asia -meski kabar terbaru si pemain asal Jepang akan dinaturalisasi. Mereka juga dapat mencari pemain naturalisasi yang kreatif seperti Esteban Viscarra (Persib). Keberanian dalam meyakinkan misi untuk bangkit harus ditekankan oleh manajemen guna meyakinkan pemain-pemain itu bergabung ke kapal yang kini dinahkodai lagi oleh Jacksen F. Tiago.
Jadi, siapkah Persipura untuk kembali menjadi pesaing juara liga? Akankah magis Jacksen dapat mengantarkan mereka ke garis kesuksesan lagi? Apalagi ini adalah musim berangka ganjil (2019) yang mana sering mengantarkan skuad Selecao-nya Indonesia tersebut meraih juara (2005, 2009, 2011, dan 2013). Maka, patut dinantikan kisah romantis Persipura dengan Coach Jacko di era baru persepakbolaan Indonesia.
Good luck Persipura!
Tulungagung, 3 Agustus 2019
Deddy Husein S.
Bacaan terkait:
Sambutan hangat Bonek pada Jacksen F Tiago. (Bola.com), Riwayat juara liga. (Bola.com), dan Kabar seputar naturalisasi Shohei Matsunaga. (Indosport.com).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H