Kekuatan finansial inilah yang membuat Persipura mampu memiliki pemain-pemain terbaik di persepakbolaan Indonesia. Mereka tidak hanya diperkuat oleh talenta lokal, melainkan juga pemain-pemain luar Papua yang berkualitas tinggi. Salah satunya tentu adalah Jendri Pitoy.
Salah satu penjaga gawang terbaik Indonesia itu bahkan cukup lama berada di Persipura. Dia pun menjadi bagian dari legenda bersama trio Papua; Eduard "Edu" Ivakdalam, Gerald Pangkali, dan Ortizan Solossa. Keberhasilan Persipura dalam "menjaga" pemain-pemain terbaiknya kemudian berlanjut ke era Boaz Solossa, Ian Louis Kabes, Yoo Jae Hoon, Bio Paulin, dan Victor Igbonefo.
Lima pemain yang seperti nyawa bagi kesuksesan Persipura itu juga mampu dipertahankan sampai akhirnya era sepakbola Indonesia mengalami kehancuran. Saat itu ISL hanya mampu menyisakan duel akhir yang mempertemukan Persib dan Persipura (2014). Persipura memang gagal juara. Namun itu adalah bukti paling mutakhir (yang dapat dilihat oleh penikmat bola era ISL) tentang kejayaan Persipura yang masih dapat relevan dengan kondisi saat ini.
Kebangkitan sepakbola Indonesia yang sulit diikuti oleh klub-klub kuat di era ISL.
Sepakbola Indonesia akhirnya kembali hidup dari mati surinya dan era kompetisi menjadi Liga 1 (2017) seperti yang kita ketahui saat ini. Memang, jika dilihat dari keberadaan kompetisi tahun 2015 dan 2016, sepakbola Indonesia masih "hidup" dan di situ klub-klub yang sarat prestasi masih cukup mampu bertahan (di level atas) dan salah satunya tentu Persipura.Â
Namun, kekacauan dunia sepakbola Indonesia itu pada akhirnya perlahan nan pasti meruntuhkan dominasi klub-klub yang hidup dengan keseimbangan finansialnya. Nahasnya, itu juga terjadi pada Persipura.
Arema Indonesia yang kemudian harus bersusah payah bertranformasi menjadi Arema FC juga awalnya terseok-seok di Liga 1. Situasi paling parah bahkan terjadi di eks klub komentator Ponaryo Astaman, Sriwijaya FC. Klub kuat asal Palembang itu harus terdegradasi ke Liga 2 musim 2018.
Kini, Persipura pun berada di zona bahaya yang sama seperti SFC. Mereka bahkan sempat menghuni zona merah dalam beberapa pekan di paruh pertama musim 2019 ini. Namun, tim manajemen (sepertinya) tidak ingin mengalami nasib serupa dengan rival berat era ISL itu. Keputusan mereka pun dapat disebut tepat. Karena, mereka "memulangkan" sang pemberi tiga gelar juara liga, Jacksen F. Tiago.
Kembalinya Jacksen ke Persipura pun terlihat mulai ada perubahan. Boaz dkk bahkan mampu menang di dua pertandingan secara beruntun. Optimisme mereka pun cukup terlihat ketika mereka bertandang ke Gelora Bung Tomo kemarin (2/8). Meski akhirnya mereka harus mengakui keperkasaan sang tuan rumah, Persebaya, dengan skor 1-0.
Namun dengan kekalahan tipis itu, Persipura masih pantas untuk bermimpi tentang romantisme mereka bersama Jacksen di masa lalu. Mereka harus dapat menjadikan referensi sejarah mereka di era ISL untuk modal kebangkitan sebagai klub kuat. Toh, masih ada Boaz, Ian Kabes, Ricardo Salampessy, dan Imanuel Wanggai sebagai bagian dari pemain senior Persipura eks ISL. Termasuk pulangnya Titus Bonai (Tibo) ke klub "Hitam Merah" itu.
Harapan kebangkitan pada kepulangan Jacksen ke Persipura.
Kembalinya Jacksen juga diharapkan dapat mengembalikan gaya main yang berkualitas (cepat dalam menyerang dan tenang dalam ball possession) khas Persipura. Harapan lainnya tentu tentang finansial Persipura yang harus kembali sehat, agar para pemain terbaik yang mereka miliki tetap bertahan. Termasuk harus ada pemain-pemain dari luar Papua yang berkualitas mumpuni untuk bergabung ke Persipura.
Mereka harus memiliki lagi maestro pemain tengah seperti Robertino Pugliara dan penyerang tajam seperti Alberto Goncalves. Memang, ini artinya impor kualitas. Namun jika itu dapat memberikan mereka jaminan kembali ke papan atas, mengapa tidak?