Jika laga final dilangsungkan sekali dan itu digelar di Stadion GBK, tentu hal ini akan menambah semangat bagi semua klub untuk berupaya tampil di GBK. Toh, stadion utama di ibukota itu sudah jarang digunakan oleh Persija sebagai kandangnya. Sehingga, tidak ada lagi alasan netral dan tidak netral, melainkan semangat dan mentalitas.
Semangat di sini artinya adalah semua klub dan pemain akan berlomba untuk dapat berlaga di stadion utama di Indonesia tersebut. Hal ini akan menjadikan Stadion GBK sebagai tempat yang sakral yang tentunya akan menjadi idaman bagi klub dan pemain-pemain dari divisi-divisi bawah untuk dapat lebih semangat untuk menggenjot kualitas permainan mereka agar dapat bermain di GBK.
Sedangkan untuk mentalitas, ini mengarah pada seluruh klub yang berpartisipasi di Piala Indonesia. Tidak peduli apakah itu klub ibukota ataupun Jabodetabek (Persija, Tira-Kabo, Bhayangkara FC, Persita, dll), mereka harus mampu menunjukkan kualitas permainan terbaiknya tanpa "berpangku" pada atmosfer di tribun. Fokus saja pada permainan dan bawa pulang trofi ke asal masing-masing.
Itu akan lebih menarik dibandingkan merayakan gelar juara langsung di rumahnya masing-masing. Buat apa menggelar final di rumah sendiri jika kemenangan dari medan yang jauh akan lebih terasa menggairahkan?
Lagipula, perayaan juara juga akan lebih menyenangkan ketika itu dilakukan pasca hari final itu digelar. Sehingga, akan ada penyambutan pemain ketika tiba dari bandara. Ada arak-arakan panjang menuju balai kota, dan secara atmosfer akan lebih terasa panjang dibandingkan langsung merayakan juara di hari itu dan besok sudah harus kembali siap bertempur.
Inilah yang sebenarnya perlu diperhatikan dan dijadikan evaluasi oleh PSSI agar tidak terjadi lagi insiden penundaan partai puncak. Jika pertandingannya bukan soal perebutan trofi secara langsung, maka penundaan itu tidak akan terasa berdampak besar.
Namun, jika itu adalah partai puncak, maka penundaan itu akan menyasar ke mentalitas dan semangat pemain. Mereka yang seharusnya segera menuntaskan misi, harus kembali mempersiapkan diri. Belum lagi soal faktor non-teknis semacam intrik misterius seperti yang terjadi di Makassar tersebut.
Bagaimanapun dan dimanapun insiden itu terjadi, tetap saja yang bertanggungjawab besar adalah PSSI, bukan PSM (dan/atau klub lain) apalagi kelompok suporternya. Karena sebagai wadah besar sepakbola Indonesia, PSSI seharusnya mampu mengenali karakteristik atmosfer sepakbola apalagi atmosfer final.