Kita tidak akan berbicara soal positive thinking dan negative thinking, melainkan pada rasionalitas terhadap fakta yang ada di sepakbola, khususnya di Indonesia. Indonesia sudah sejak beberapa tahun terakhir ini terus bergulat pada kasus yang melibatkan sepakbola sebagai "sumbernya".
Inilah yang seharusnya dipikirkan oleh pihak PSSI sebagai pihak yang sangat diharapkan dapat menjadi penegak dan penjaga sportivitas di sepakbola Indonesia. Termasuk adanya upaya belajar dari penyelenggaraan turnamen maupun kompetisi yang diadakan oleh pihak-pihak lain yang lebih maju, seperti UEFA dan FIFA atau minimal meniru pola kerja FA (PSSI-nya Inggris).
Di Inggris dengan FA-nya, setiap final Piala FA dan Piala Liga (EFL Cup) selalu digelar sekali di Wembley Stadium ataupun tempat netral. Terkhusus pada Piala FA formatnya sudah jelas, bahwa setiap final akan digelar di ibukota; London dan pasti di Wembley. Tidak peduli apakah yang lolos ke final adalah tim asal London (Arsenal, Chelsea, Tottenham Hotspur, West Ham, dll) atau bukan, mereka pasti akan menggelar final di sana.
Inilah yang sebaiknya ditiru oleh PSSI. Apalagi, FA Cup itu format kompetisinya sama seperti Piala Indonesia, yaitu "menggerakkan" semua klub dari divisi terbawah sampai divisi teratas. Sehingga, tidak ada salahnya jika PSSI juga mengikuti jejak FA dengan menggelar partai final di ibukota, apapun alasannya. Toh, kita punya stadion megah dan sarat sejarah seperti Gelora Bung Karno (GBK), yang sama seperti Wembley yang juga merupakan salah satu stadion bersejarah di Inggris.
Lupakan dulu soal misi membangun sepakbola dengan turut membantu meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia. Toh, dengan adanya format tandang-kandang yang diterapkan selama kompetisi bergulir, sudah cukup menguntungkan semua klub, dan itu terasa lebih adil.
Jadi, untuk apa ada final dua kali jika itu hanya akan membuat klub-klub yang kuat (pasti bertahan lama di kompetisi) semakin kuat finansialnya sedangkan klub-klub yang lain -yang lekas gugur dari kompetisi- masih terseok-seok/tanpa pemasukan tiket yang lebih.
Kompetisi seperti Piala Indonesia tidak akan bisa disamakan seperti Liga 1 yang dapat menjangkau seluruh aspek (teknis dan non-teknis). Piala Indonesia seharusnya lebih mengedepankan pada kemajuan kualitas sepakbola di atas lapangan saja dibandingkan faktor non-teknis lainnya. Semisal memperhitungkan untung-rugi pendapatan klub dalam satu musim kompetisi.
Hal ini tidak bisa dilakukan oleh klub peserta Piala Indonesia. Karena, format Piala Indonesia adalah sistem gugur dan mirip turnamen. Sehingga, setiap klub akan lebih fokus pada hasrat bertahan selama mungkin di atas lapangan dengan kualitas permainan tim tersebut, bukan dengan memperhitungkan hal-hal lain.
Berbeda dengan Liga 1 yang harus memikirkan aspek kehidupan klub itu dalam jangka panjang, sedangkan Piala Indonesia adalah jangka praktis bagi setiap klub. Karena, mereka sudah sadar, bahwa siapa yang dapat bertahan lebih lama, biasanya merekalah yang terbaik secara kualitas permainan. Hal ini sama seperti di sepakbola Inggris, siapa yang meraih gelar juara FA Cup dalam tiga tahun terakhir? Tetap saja klub mapan nan berkualitas, bukan?
Dari sinilah, kita dapat mengedepankan Piala Indonesia sebagai kompetisi yang digelar tidak "bertele-tele". Kompetisi ini harus lebih praktis, karena, fokus semua klub pasti ada di liga. Sehingga, jika secara format saja sudah panjang (mempertemukan semua divisi), maka di akhir perjalanan pun kompetisi ini harus sesegera mungkin dapat berakhir. Tujuannya pun lebih jelas dan lebih bagus bagi klub-klub itu, yaitu kembali fokus ke liga. Karena, itulah jalan besar mereka yang harus mereka arungi setiap tahun.