Apapun penilaian para pembaca tersebut, kita sama-sama mengakui bahwa Arswendo Atmowiloto adalah salah satu sastrawan terbaik milik Indonesia dengan berbagai karya tulisnya yang menarik untuk dibaca.Â
Penulis pun merasa beruntung dapat mengetahui dan sedikit mengenali karya-karya beliau, meski sebenarnya masih banyak sekali karya beliau yang belum dapat terjangkau (oleh penulis).Â
Salah satunya adalah karya terbaru beliau yang berjudul "25 Monolog". Buku itu terbit tahun 2017 dan disebut-sebut sebagai dedikasi beliau kepada tempatnya mengajar, London School Public Relation (LSPR) Jakarta. Sebagai orang yang pernah belajar teater, tentu penulis merasa perlu sekali untuk dapat membaca karya terakhir beliau tersebut.
Selain itu, menurut penulis, buku itu dapat menjadi simbol konsistensi dan eksistensi beliau untuk tetap berkarya di era maju yang sudah cukup banyak menghasilkan para penulis atau sastrawan muda.Â
Bahkan jika ditarik mundur lagi, pria kelahiran November 1948 itu memiliki masa produktivitas tinggi dalam hal menerbitkan buku. Yaitu di tahun 2010 dan 2015. Tahun 2010 karyanya menghiasi penerbitan Gramedia dengan "Senopati Pamungkas"-nya yang sampai jilid 10. Sedangkan di tahun 2015, selain menerbitkan kembali Keluarga Cemara,Â
Arswendo juga "melahirkan" buku berjudul "Rabu rasa Sabtu". Memang, di tahun itu Arswendo tidak meluncurkan lebih dari dua buku. Namun, dengan keberadaan Keluarga Cemara yang kemudian "berlari" ke layar lebar, nama Arswendo kembali hangat diperbincangkan.
Kini, nama Arswendo Atmowiloto telah menyusul NH. Dini, salah seorang penulis kebanggaan Indonesia lainnya yang lebih dahulu berpulang.Â
Semoga, kepulangan mereka adalah cemeti bagi para penulis muda bangsa untuk segera muncul ke permukaan dengan segala karya-karyanya yang tentunya dapat memberikan banyak manfaat dan inpirasi kepada bangsa tercinta ini. Selamat jalan Arswendo!
Tulungagung, 19 Juli 2019
Deddy Husein S.