Beralih pada kualitas pertahanan tim. Di faktor ini, Alisson dan Ederson hanya dibedakan pada level klub. Sedangkan di level timnas, mereka sama-sama bermain dengan pemain-pemain belakang berkualitas, salah satunya tentu masih adanya sosok Thiago Silva. Di bawah koordinasi bertahan yang dilakukan Silva, maka pertahanan Brazil tidak terlalu mengerikan. Sehingga, performa bertahan sebuah tim tinggal dilengkapi oleh performa kiper.
Di sini, kita tidak bisa membandingkan antara Alisson dengan Ederson. Sama halnya dengan Kepa. Kepa di level timnas masih belum dipercaya sebagai penjaga gawang utama timnas Spanyol. Karena, di La Roja masih ada kiper yang lebih berpengalaman; David De Gea. Sehingga, Kepa hanya bisa disandingkan dengan Alisson di level klub.
Di level klub kita dapat melihat bahwa ada persaingan alot di lini pertahanan dua tim teratas EPL. Manchester City dan Liverpool. Meski Man. City adalah juaranya (2018/19), namun soal kualitas pertahanan, The Citizens kalah dari Liverpool, dan ini tidak lain karena kualitas pertahanan Liverpool yang jauh lebih stabil dibandingkan Si Biru Langit.
Tidak hanya karena ada Alisson namun juga karena adanya duet maut, Virgil van Dijk dan Joel Matip. Bahkan, Liverpool juga masih memiliki Dejan Lovren yang sebelumnya menjadi andalan sebelum kedatangan van Dijk.
Keberadaan van Dijk terbukti mampu memberikan peningkatan kualitas bertahan The Reds selama musim kemarin. Bahkan, van Dijk mampu membawa timnas Belanda mencapai final UEFA Nations League Juni kemarin. Artinya, van Dijk dapat menjadi penyebab lainnya dari keberhasilan Alisson tampil bagus di level klub.
Perlu diketahui bahwa kualitas bertahan para pemain belakang biasanya turut mempengaruhi performa kiper. Ketika performa lini belakang terlihat bagus, maka si penjaga gawang juga akan memiliki kepercayaan diri yang lebih baik lagi. Kepercayaan diri itulah yang biasanya akan membantu fokus, respon, dan reflek si kiper untuk mengantisipasi datangnya bola. Jika bek-beknya ngawur, kiper pun pasti resah bukan?
Situasi ini sedikit berbeda dengan Ederson di Manchester City, meski dirinya juga dikawal oleh bek-bek tangguh. Namun, blunder yang kadang dilakukan oleh bek-beknya, juga biasanya membuat Ederson gagal menghalau bola yang menuju ke gawangnya. Performa terbaik Ederson sebenarnya lebih terlihat di musim 2017/18 lalu. Karena, di situ Ederson benar-benar berusaha menunjukkan dirinya layak dihargai mahal oleh Manchester City.
Begitu pula pada Kepa di Chelsea yang sebenarnya memiliki pemain-pemain bagus di bek tengah. Namun, karena taktik permainan ataupun karena tim lawan lebih punya keberanian dalam mengintimidasi pertahanan The Blues, maka Kepa pun tak bisa berbuat banyak. Hal ini juga dapat dilihat dari seringnya Kepa dibobol melalui tendangan-tendangan jarak jauh.
Gol-gol semacam ini seringkali tercipta karena kurang rapatnya pertahanan dalam menutup ruang tembak lawan, selain karena positioning Kepa yang kurang bagus. Ketika positioning bagus, biasanya kiper dengan tinggi badan berapapun akan mampu menjangkau datangnya bola (ke tiang jauh).
Biasanya positioning kiper akan menyesuaikan jarak bola dan juga ruang yang terlihat. Ketika ruangnya sempit (ada bek yang menutup ruang tembak) maka, kiper akan memposisikan dirinya lebih dekat dengan tiang jauh. Hal ini menyesuaikan dengan pandangan pemain lawan saat melihat gawang (mengincar target).Â
Begitu pula sebaliknya, jika ruangnya lebar, maka kiper akan mendekatkan diri pada tiang dekat atau mencoba mengikuti posisi bola itu berada.