Banyak yang menyatakan mudik itu tidak sepenuhnya menyenangkan. Namun tidak sedikit pula yang menginginkan mudik dan merasa iri ketika melihat orang lain dapat melakukan mudik. Namun, apapun itu, mudik sebenarnya seperti tindakan lainnya. Artinya, apa yang terasa lebih nikmat ataupun berat itu hanya soal sudut pandang, apakah itu dialami orang lain atau juga Anda alami pula.
Begitu pula pada penulis yang kembali mampu melakukan 'ritual' mudik pada lebaran tahun ini. Kali ini penulis merasa lebih beruntung, karena dapat mudik sepekan lebih sebelum lebaran. Sehingga, penulis dapat merasakan puasa di kampung halaman dan tentunya itu lebih nikmat karena dapat bertemu dengan suasana yang lebih akrab saat ngabuburit. Dibandingkan di tempat rantau yang semakin asing ketika kegiatan bertemu dengan orang lain (yang dikenal) semakin jarang.
Memang di kampung halaman saat ngabuburit juga tidak sepenuhnya mengenal orang-orang tersebut. Namun, ketika berada di kampung halaman sendiri---yang sudah terajut selama 2 dekade-an ini---rasanya lebih nyaman dibandingkan di kota orang lain. Satu-satunya permasalahan pribadi saat berada di kampung halaman adalah kembali beradaptasi dengan cuaca yang lebih terik dari biasanya.
Walau antara kota rantau dengan kampung halaman hanya berjarak tiga jam perjalanan darat. Namun, perbedaan suhu udaranya cukup terasa. Di kampung halaman cerahnya sama rata. Artinya, antara kepala, badan, dan kaki sama-sama merasakan hawa panas. Sedangkan di kota rantau, biasanya hanya kepala yang terasa panas, sedangkan bagian badan dan kaki masih berkesempatan merasakan hembusan angin sejuk. Ini yang membuat hawa panas tidak begitu terasa meskipun sedang cerah (masuk musim kemarau).
Hal ini tentunya membuat penulis merasa perlu beradaptasi. Salah satu cara agar tetap dapat berpuasa lancar dalam masa beradaptasi ini adalah dengan sedikit merubah jam berkegiatan. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah adanya dehidrasi yang berlebihan. Sehingga, perlu adanya pemampatan jam kegiatan. Jika di kota rantau, jam berkegiatan dapat dilakukan (paling pagi) jam 9 atau jam 10 pagi. Maka, di kampung halaman, jam berkegiatan baru dapat dilakukan jam 1 siang.
Itupun meliputi beberapa hal. Dari menulis, membaca, menonton film/serial tv, hingga mencuci baju. Sedangkan selepas Ashar, penulis baru akan keluar ngabuburit. Perihal ngabuburit ini rutin dilakukan dan seperti masa-masa kecil penulis yang selalu melakukan ngabuburit dan berada di 'kepungan' banyak orang. Suasana seperti ini yang penulis sukai dibandingkan di kota rantau yang tahun ini terasa berbeda (secara subjektif).
Lalu, bagaimanakah perjalanan mudiknya kemarin? Apakah menyenangkan?
Seperti yang sempat disinggung di awal, bahwa menyenangkan atau tidak itu tergantung sudut pandang siapa yang merasakannya, dan bagaimana merasakannya. Secara pribadi, perjalanan mudik kemarin itu 50-50. Antara menyenangkan dan tidak.
Menyenangkan, karena misi berpuasa di kampung halaman berhasil terwujud. Namun juga kurang menyenangkan, karena harus merogoh kocek lebih akibat keterlambatan tiba ke stasiun. Daripada tertunda terlalu lama jam keberangkatannya---ada opsi tetap naik kereta namun jam sore dan lebih mahal---maka, penulis memilih langsung tancap gas ke terminal (saat itu juga) dan mengambil jasa transportasi bus sebagai pengantar ke kampung halaman.
Bagi beberapa orang, apalagi yang sudah berkarir, maka, merogoh kocek nyaris selembar merah untuk perjalanan mudik tentunya tidaklah mahal. Namun, jika itu dihitung sebagai perjalanan jarak dekat (3 jam jalur darat), maka itu tergolong mahal. Karena, jika tetap menggunakan jasa kereta dan tarif ekonomi, maka, selembar uang biru pun tidak sampai untuk semua alur perjalanan (menghitung pula jasa ojek online) menuju kampung halaman.
Hitungan perjalanan ke kampung halaman tentunya tidak hanya menghitung tiket transportasi antar kotanya saja, namun juga menghitung biaya ojek online yang digunakan untuk sampai ke stasiun dan (kurang beruntungnya) harus ke terminal pula. Di sini, penulis awalnya merasa sedih. Namun, karena bayang-bayang dapat menghirup udara di kampung halaman dan merasakan berpuasa di kampung halaman, maka, pengeluaran itu mulai tak terpikirkan.
Sehingga, perjalanan mudik tahun ini terasa menantang bagi penulis. Karena, memberikan gejolak yang dinamis selama perjalanannya. Seolah seperti bermain di panggung teater, yang mana awalnya terasa menyedihkan, namun pada akhirnya dapat menggapai happy ending.
Harapannya, mudik dan lebaran kali ini happy ending bagi kita semua yang merayakannya. Baik secara langsung (bagi yang muslim), maupun tidak langsung (bagi non muslim).
Jadi, selamat mudik buat semua yang melakukannya!
Tulungagung, 2 Juni 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H