Kisah ini hadir dari medan perang yang rumit dan tak kunjung usai. Meski Ramadan semakin di ujung perpisahan. Tapi perang seperti tak mengenal bulan suci. Perang seperti terus bergemuruh demi kepentingan masing-masing. Mereka yang ingin merebut wilayah lumbung gandum ini terus berupaya semakin keras untuk menekan pribumi. Sedangkan para pribumi semakin gencar mencari pertolongan untuk menguatkan barisan pertahanan mereka.
Aku, yang dikirim ke arena pertumpahan darah ini hanya bisa menunggu dan menunggu waktu yang tepat untuk mengakhiri perang di antara mereka. Aku juga sempat berpikir jika perang akan mereda bahkan bisa berakhir ketika Ramadan tiba. Namun, ternyata hal itu tak terjadi. Bahkan, kian menguat saja dentuman meriam yang mereka saling lontarkan untuk melukai dan menghancurkan barikade pertahanan masing-masing. Termasuk daerahku.
Beruntungnya, aku dan pasukan perdamaian ini masih dapat menyelamatkan diri. Sehingga, tak ada korban jiwa. Hanya kerusakan benteng darurat yang membuat aku dan pasukan harus mencari tempat lain untuk membangun benteng darurat baru. Tentunya benteng itu tidak boleh jauh dari gelanggang adu banteng tersebut.
Pagi sampai sore aku dan pasukan berpatroli secara bergilir termasuk sesekali berupaya mendekat ke arah penyerang pribumi gandum. Namun, usaha kami tak sepenuhnuya menghasilkan perjanjian damai. Bahkan, mereka seringkali sudah mengusir kedatangan kami jauh sebelum sampai ke benteng mereka.
"Jangan pernah kemari jika kalian tak ingin mati di sini! Lebih baik kalian pulang ke negara kalian! Tidak usah ikut campur! Ini urusan kami! Kami ingin meraih hak kami, dan mereka terlalu bebal untuk mengalah. Mereka tidak tahu diri!"
Begitulah kira-kira hasilnya ketika kami sampai di 1 kilometer dari benteng itu. Tidak ada tanggapan yang dapat kami sampaikan sebagai balasan. Bukan karena kami tak berani ataupun tak punya argumentasi. Namun, mereka tidak ingin mendengar apa yang akan kami sampaikan. Sungguh, ini membingungkan! Sebenarnya siapa yang bebal?
Dari sinilah, aku dan pasukan semakin dilema. Pulang tanpa berhasil mendamaikan peperangan itu artinya mangkir dari tugas. Sedangkan bertahan tanpa mampu berbuat banyak, juga membuang-buang waktu. Apalagi ini adalah bulan Ramadan. Kami semua yang memang tidak seluruhnya Islam, tetap ingin pulang. Kembali ke rumah, bertemu dengan orangtua, apalagi dengan belahan hatinya. Kami ingin pulang!
"Apa yang akan kau lakukan, Samuel? Kau tentu tahu jika aku dan beberapa rekan ingin berlebaran di kampung halaman." Suara Abdullah mengejutkanku.
"Iya, aku tahu. Akupun ingin pulang juga. Tapi, kita tidak mendapatkan alternatif dari atasan. Sedangkan mereka seperti nyamuk yang terus mendengung dan menghisap darah tanpa pernah ingin berhenti sendiri. Mereka..." mendadak aku tak sanggup meneruskan perkataanku. Sedangkan Abdullah sudah berupaya memperhatikan apa yang akan aku katakan. "Apa yang ada di dalam kepalamu Sam?"
"Mereka harus dihentikan seperti nyamuk yang harus ditepuk sampai mati."
Abdullah kebingungan dalam menanggapi pernyataanku. Dia menanyakan maksudku, dan aku menjawabnya dengan mengatakan bahwa esok tak ada lagi rasa takut. Esok adalah kunci untuk pulang. Aku beranjak dan meninggalkan Abdullah yang hanya bisa terdiam. Dia sepertinya sedang merenungkan apa misiku.
Hingga keesokan harinya aku dan pasukan bergerak. Nyaris semuanya turun dari benteng. Kami kembali maju. Benteng penyerang pribumi gandum lagi-lagi menjadi tujuan kami. Kali ini kami datang dengan perlengkapan yang maksimal. Kami memiliki dua rencana. Rencana pertama adalah jalur diplomasi. Rencana kedua adalah penyerangan.
Kami menyiapkan keduanya dengan perhitungan yang masak tanpa membuka kemungkinan kegagalan karena aku yakin rencana pertama akan berhasil. Namun, Abdullah tetap memintaku untuk tetap menggerakkan rencana kedua, agar nanti tidak terjebak dan tak mampu mengelak. Aku menyetujuinya, setelah berdebat cukup sengit dengan sosok yang bisa disebut sebagai rekan paling dapat untuk diandalkan. Dia mengandalkanku, dan akupun mengandalkannya.
Aku berpisah dengan pasukan yang dipimpin oleh Abdullah. Aku terus maju lurus ke depan, sedangkan Abdullah menyingkir dari jalur itu. Aku berharap misi kali ini berhasil agar aku bisa pulang, juga teman-temanku.
Aku cukup terkejut dengan penghadangan yang mereka lakukan kali ini. Bukan karena apa yang akan mereka katakan, tapi jarak penghadangannya yang semakin jauh dari benteng pertahanan mereka. Itulah yang kukhawatirkan. Tiga kilometer! Ini bahaya, mereka sudah menggerus wilayah pribumi gandum. Artinya, tak akan ada jawaban diplomatis untukku kali ini (lagi).
"Apa kalian tuli? Mengapa masih kemari?"
"Aku ingin bertemu komandan!"
"Hah? Apa aku tak salah dengar?!"
"Aku ingin bertemu komandan kalian!"
"Apa maumu?"
"Ada pesan untuk komandanmu!"
"Gila! Kau sudah nekad!"
"Ini jalur diplomasi. Bukan perang!"
"Aku tak percaya!"
"Komandanmu akan percaya!"
"Kau hanya kapten! Tidak ada yang dapat kau perbuat selain menjadi jongos komandanmu!"
"Ada pesan untuk komandanmu. Penting dan ini masih dalam jalur diplomasi, tak kurang tak lebih!"
Orang itu mulai goyah. Dia terlihat berpikir. Sampai kemudian dia meloloskan niatku untuk bertemu dengan komandannya. Aku bahagia. Mataku terus fokus menghadap ke depan dengan keyakinan tinggi bahwa nanti akan berhasil. Termasuk berhasil untuk berkemas dari negeri ini dan pulang. Mama, sebentar lagi, tunggulah!
Aku telah sampai di depan gerbang benteng mereka. Cukup lama untuk menunggu gerbang itu terbuka lebar. Aku masuk ke benteng mereka dan mereka menyambutku dengan tatapan penuh curiga. Sampai akhirnya, aku benar-benar bertemu dengan komandan mereka.
"Sungguh besar nyalimu Kapten Samuel! Seharusnya, kaulah yang menjadi komandan pasukan perdamaian itu. Seandainya kau yang jadi, maka, mungkin aku akan mendengarkan pesanmu untuk tak menyerang mereka, hahaha..." sekilas, dia terlihat ramah, namun aku tahu jika itu hanya basa-basi. Aku duduk setelah dipersilakan.
"Apa pesanmu?"
Aku memberinya selembar kertas. Dia tertawa melihatnya. "Zaman sudah maju, namun kau masih menyukai metode surat-menyurat. Sungguh, pribadi yang mulia, kau ini! Seharusnya kau ada di sisiku dari dulu, kapten. Hahaha..." Dia menerima surat itu dan membacanya.
Cukup unik melihat dirinya membaca surat itu dengan sangat serius. Itu artinya, di balik cara berbicaranya yang terkesan angkuh, dia tidak meremehkan pesan itu dan dia juga sepertinya memiliki pribadi yang detil. "Baiklah! Aku akan mundur. Tapi, aku ingin jaminan darimu, kapten!"
"Apa itu?"
"Nyawamu!"
Mendadak terdengar desing peluru, dan "Blaaarrr!!!" hujaman meriam pun menyusul. Seketika, tempat itu penuh dengan rentetan tembakan. Sungguh mengejutkan, dan semakin mengejutkan bagiku, karena aku tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhku seperti tak mampu untuk kugerakkan, sedikitpun!
"Dasar penipu! Habisi mereka semua!"
Aku memang sudah tak mampu berbuat apa-apa. Namun, kedua mataku masih mampu melihat apa yang terjadi. Pertempuran itu benar-benar terjadi dan aku sempat melihat sekelebat sosok Abdullah. Benar, itu Abdullah!
Dia sangat sigap menyerang orang-orang yang biasanya kusebut sebagai penjajah pribumi gandum itu. Tempat ini seketika seperti Colloseum di masa lampau. Ini pertumpahan darah yang di luar harapanku. Aku tidak tahu jika hal ini benar-benar terjadi.
Mataku mulai memburam namun telingaku masih sangat jelas mendengar teriakan dan desingan peluru hingga dentuman meriam yang sukses merobohkan dinding-dinding benteng ini. "Sam! Sadar Sam! Kau harus hidup! Kita akan pulang bersama! Sebentar lagi, Sam! Ayolah, bertahanlah!"
"Sam!"
Aku menggerakkan tanganku. Ya, tanganku ternyata masih bisa kugerakkan. Aku tidak peduli apakah Abdullah melihatku atau tidak. Aku terus meraba-raba sakuku. Entah, mengapa aku sulit untuk membuka kancing saku pada kemeja tempurku. Aku terus berusaha membukanya, namun tak kunjung berhasil. Nafasku pun mulai memberat. Semakin sulit untuk menghirup oksigen yang sepertinya semakin sedikit. Aku nyaris menyerah, hingga akhirnya aku hanya bisa mengetuk-ngetuk dadaku.
Jari telunjukku terus berusaha menunjuk-tunjuk sakuku. Aku sudah tak bisa menghitung berapa gerakanku ini sampai kemudian ada tangan yang menggenggam tanganku dan sepertinya tangan itu tahu apa maksudku. Tangan itu membuka sakuku dan mengambil sesuatu di dalamnya.
Aku ingat apa yang ada di sana.
Selembar surat, yang bertuliskan kisahku selama ada di negeri gandum ini. Namun, aku tak ingin memikirkan kisahku itu. Karena, saat ini bayanganku hanya ada pada dua kalimat terakhir yang kutuliskan sebagai penutup isi surat itu.
"Aku pulang mama! Pulang untuk memelukmu di surga!"
Tulungagung, 1 Juni 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H