Mungkin itu yang terlintas (di pikiran) ketika penulis masih sekolah saat itu (beberapa tahun lalu). Karena, saat itu, penulis belum bisa membedakan mana guru yang honorer dan mana yang merupakan pegawai negeri. Karena, biasanya yang mengajar (mengadakan KBM) di sekolah itu (khususnya di sekolah penulis) adalah guru-guru yang sudah memiliki nomor induk kepegawaian (NIP/nomor induk pegawai).Â
Sehingga, kurang banyak yang penulis ketahui tentang keberadaan guru honorer---khususnya di sekolah penulis. Kecuali yang ditempatkan sebagai pengurus sekolah seperti di TU atau di perpustakaan.
Kalaupun ada, guru honorer itu biasanya guru olahraga atau yang disebut juga mata pelajaran (matpel) Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (penjaskes). Atau ada pula guru honorer di mata pelajaran kesenian/seni budaya. Di situ, terdapat kemungkinan adanya peluang mendidik bagi guru honorer.
Selain itu, ada satu hal yang penulis ketahui saat itu. Yaitu, guru honorer adalah guru muda. Sehingga, perannya lebih mengarah pada pengabdian daripada pekerjaan. Karena, mereka terkadang tidak secara spesifik ditempatkan untuk mengajar di mata pelajaran tertentu. Sehingga, bisa disebut bahwa guru honorer adalah guru muda yang bersedia mengabdi di dunia pendidikan.
Selain ciri-ciri yang diketahui penulis secara terbatas saat itu, maka, penulis juga melihat bahwa guru honorer juga bisa disebut sebagai serep. Ketika guru utama berhalangan mengajar dan daripada kelas (jam) kosong, maka, guru honorer digunakan untuk mengisi kegiatan belajar-mengajar. Minimal memberikan tugas dari guru utama lalu mengawal jalannya pengerjaan tugas untuk para murid tersebut.
Cukup sederhana tentang apa yang diketahui oleh penulis tentang guru honorer saat masih sekolah waktu itu. Namun, penulis mulai berpikir bahwa guru honorer itu sebenarnya berada di antara penting dan tidak penting.
Penting, karena seperti yang dicontohkan sebelumnya, ketika sekolah tersebut sedang kekurangan tenaga didik (mis. guru utama berhalangan hadir), maka kehadiran guru honorer akan sangat dibutuhkan. Bahkan di mata pelajaran tertentu, sangat diperlukan adanya guru yang sangat terampil, dan di situ ada peluang bagi para guru honorer untuk mengambil peran sebagai pendidik.
Hal ini terjadi bukan karena, guru tetap (sudah PNS) adalah guru yang kurang terampil, namun terkadang ada suatu hal yang istimewa dari guru honorer. Yaitu, kemauan untuk kerja lebih keras dalam mengajar. Untuk itulah muncul istilah pengabdian dibandingkan pekerjaan saat menyebutkan status guru honorer. Mereka (memang) sedang mengabdi, alih-alih bekerja.
Selain itu, ada keunikan dari guru honorer yang mungkin tidak banyak dimiliki oleh guru tetap. Yaitu, pemilihan bidang pelajaran. Guru honorer cenderung memilih bidang yang mengasah keterampilan dibandingkan mata pelajaran ilmu pasti dan ilmu terapan.Â
Sedikit ditemukan adanya guru honorer yang mengajar mata pelajaran Fisika, Kimia, Biologi, Matematika, Bahasa, ataupun Geografi misalnya, dibandingkan guru honorer yang mengajar di matpel TIK, Seni Budaya, dan Penjaskes/Olahraga. Karena ketiga matpel ini memang perlu keterampilan lebih dalam praktik dibandingkan pengenalan teori (saja).
Dari sini, penulis mencoba mengetahui apa yang tidak diperlukan dari guru honorer.
Jika, melihat di masa kini, penulis yang sudah purnawiyata sebagai siswa, maka mencoba untuk melihat sisi lain dari keberadaan guru honorer. Yaitu sisi tidak pentingnya. Mengapa demikian?
Karena, ketika kita tahu sisi tidak pentingnya guru honorer, maka kita juga tidak mengharapkan adanya guru honorer di Indonesia. Sehingga, ketika seseorang berkeinginan menjadi guru, dirinya harus langsung menjadi guru (PNS/ASN), alih-alih berkedok guru honorer.
Sisi tidak pentingnya adalah guru honorer hanya akan membuat sekolah (melalui dana daerah maupun nasional) harus memberikan gaji di luar dari aliran dana yang (seharusnya) sudah pasti mengalir untuk menggaji guru tetap (ASN).
Di sinilah yang menjadi pekerjaan rumit bagi sekolah untuk memastikan bahwa mereka tidak terbebani dengan keberadaan guru honorer yang sebenarnya juga dibutuhkan.Â
Namun, dengan status tenaga didiknya sebagai guru honorer, otomatis cukup sulit bagi pihak sekolah untuk mengurus pendapatannya. Karena, pendapatan terhadap guru honorer juga sangat bergantung pada siklus keuangan sekolah tersebut.Â
Jika sekolahnya memiliki siklus keuangan yang ideal (bantuan operasional yang sinkron dengan jumlah peserta didik), maka, pengeluaran untuk menggaji guru honorer sudah bukan lagi suatu hambatan besar.
Lalu, apakah semua sekolah yang ada di Indonesia memiliki siklus keuangan yang ideal? Minimal cukup untuk menggaji guru honorer?
Jawabannya adalah tidak banyak. Di dalam satu kota saja, yang memiliki potensi siklus keuangan sekolahnya baik hanya 3-5 sekolah per tingkatan (SD/SMP/SMA/sdj). Sedangkan jumlah guru honorer dalam setiap sekolah (jika per kota/kabupaten memiliki rata-rata 15 sekolah per jenjang) bisa saja mencapai min. 3-5 orang per sekolah. Maka, sudah bisa diprediksi bahwa nasib guru honorer akan sangat variatif dan rata-rata akan berada di zona bawah (tidak sejahtera).
Artinya, dari sini kita bisa melihat bahwa kehadiran guru honorer bisa menjadi beban baik bagi sekolah, daerah, hingga negara, ketika jumlahnya sudah tidak bisa terakomodir. Sehingga, cukup sulit bagi negara untuk segera mensejahterakan guru honorer jika jumlahnya sangat banyak dan kemudian setiap sekolah tidak semuanya dapat menjadi pihak pertama yang dapat 'menyelamatkan' nasib para guru honorer tersebut.
Dari sini pula kemudian penulis berpikir bahwa, mengapa harus ada guru honorer jika para calon tenaga didik dapat diregenerasikan melalui sekolah tinggi yang fokus pada pengaplikasian di bidang pendidikan (bukan keilmuan).Â
Ambil contoh Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP). Di situ, kita bisa menemukan calon-calon guru dari keberadaan mahasiswa yang bakal bergelar SPd (sarjana pendidikan). Sehingga, guna memberikan peluang para lulusan tersebut, pastinya perlu adanya jalur penerimaan guru langsung dengan tes sebagai guru, bukan dengan tes CPNS.
Karena, dengan pembuatan jalur terima guru seperti itu, maka, akurasi dalam mendapatkan tenaga didik yang sesuai kebutuhan akan segera terpenuhi dan mereka sudah seharusnya menjadi guru tetap. Karena tesnya akan setara dengan ASN.
Logika ini sebenarnya mengikuti logika pembukaan lowongan kerja di dunia enterpreneurship (kewirausahaan). Mengapa mereka (perusahaan swasta) bisa lebih cepat dan tepat dalam memiliki pegawai? Karena, mereka benar-benar membuka lowongan itu dan secara khusus mencari bidang-bidang yang sedang butuh tenaga kerja. Sehingga, akurasi, efisiensi, dan akomodasinya (penyesuaiannya) dapat terkontrol dengan baik.
Hal inilah yang kemudian membuat perusahaan pasti akan berusaha bertanggungjawab terhadap kesejahteraan pegawainya sampai kontrak tersebut berakhir. Pola inilah yang sebenarnya bisa ditiru oleh sistem kepegawaian negara, khususnya di tenaga didik. Melalui sistem yang tepat (meskipun lebih ketat), maka peluang menjadi guru itu akan sangat jelas bagi mereka yang memang ingin bekerja sebagai guru. Bukan mengabdi.
Karena, dewasa ini, hidup manusia semakin berbeda pola dan kebutuhannya. Manusia semakin menginginkan keseimbangan antara pemasukan dengan pengeluaran. Bahkan, kalau bisa, jumlah pemasukan lebih tinggi dibandingkan jumlah pengeluaran. Namun, keidealan dan cita-cita itu tidak bisa serta-merta terpenuhi. Karena, manusia di Bumi semakin banyak. Persaingan pun semakin tinggi, dan ini juga dapat terjadi di dunia pendidikan.
Tidak hanya nasib guru honorernya saja yang tidak sejahtera (ekonominya), namun, ketidaksejahteraan guru honorer juga akan membuat kualitas pendidikan bisa disanksikan keunggulannya ketika mereka (guru honorer) semakin sulit untuk fokus sebagai tenaga didik, karena tuntutan hidup juga semakin mencekik.
Hal ini juga bisa dicontohkan dengan keberadaan oknum-oknum yang membuat sistem pendidikan atau jalannya pendidikan di Indonesia kurang terkontrol, ketika mereka mengatasnamakan kesejahteraan guru honorer. Tidak semua guru honorer minim kualitas. Namun, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana guru honorer bisa tetap fokus mendidik siswanya ketika di dalam pikirannya juga sedang terhimpit oleh masalah (ekonomi).
Gangguan-gangguan kemudian muncul dan membuat guru honorer terkadang memiliki stigma. Padahal, kehadiran mereka juga memiliki peran yang mulia. Mereka sebenarnya berupaya mengabdi demi pendidikan negara ini menjadi semakin baik.Â
Agar, negara ini tidak pernah kekeringan generasi penerus bangsa. Hanya, persoalan gentingnya adalah bagaimana dengan nasib perut mereka, keluarga mereka, apalagi jika mereka pada akhirnya harus berkeluarga dan menghidupi calon generasi penerus bangsa selanjutnya (anak-anak mereka).
Jadi, mengapa harus ada guru honorer jika negara ini belum mampu menyejahterakan mereka?
Malang, 3-4 Mei 2019
Deddy Husein S.
Tambahan:
Berikut ini adalah beberapa bacaan yang cukup relevan dengan tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H