Karena, ketika kita tahu sisi tidak pentingnya guru honorer, maka kita juga tidak mengharapkan adanya guru honorer di Indonesia. Sehingga, ketika seseorang berkeinginan menjadi guru, dirinya harus langsung menjadi guru (PNS/ASN), alih-alih berkedok guru honorer.
Sisi tidak pentingnya adalah guru honorer hanya akan membuat sekolah (melalui dana daerah maupun nasional) harus memberikan gaji di luar dari aliran dana yang (seharusnya) sudah pasti mengalir untuk menggaji guru tetap (ASN).
Di sinilah yang menjadi pekerjaan rumit bagi sekolah untuk memastikan bahwa mereka tidak terbebani dengan keberadaan guru honorer yang sebenarnya juga dibutuhkan.Â
Namun, dengan status tenaga didiknya sebagai guru honorer, otomatis cukup sulit bagi pihak sekolah untuk mengurus pendapatannya. Karena, pendapatan terhadap guru honorer juga sangat bergantung pada siklus keuangan sekolah tersebut.Â
Jika sekolahnya memiliki siklus keuangan yang ideal (bantuan operasional yang sinkron dengan jumlah peserta didik), maka, pengeluaran untuk menggaji guru honorer sudah bukan lagi suatu hambatan besar.
Lalu, apakah semua sekolah yang ada di Indonesia memiliki siklus keuangan yang ideal? Minimal cukup untuk menggaji guru honorer?
Jawabannya adalah tidak banyak. Di dalam satu kota saja, yang memiliki potensi siklus keuangan sekolahnya baik hanya 3-5 sekolah per tingkatan (SD/SMP/SMA/sdj). Sedangkan jumlah guru honorer dalam setiap sekolah (jika per kota/kabupaten memiliki rata-rata 15 sekolah per jenjang) bisa saja mencapai min. 3-5 orang per sekolah. Maka, sudah bisa diprediksi bahwa nasib guru honorer akan sangat variatif dan rata-rata akan berada di zona bawah (tidak sejahtera).
Artinya, dari sini kita bisa melihat bahwa kehadiran guru honorer bisa menjadi beban baik bagi sekolah, daerah, hingga negara, ketika jumlahnya sudah tidak bisa terakomodir. Sehingga, cukup sulit bagi negara untuk segera mensejahterakan guru honorer jika jumlahnya sangat banyak dan kemudian setiap sekolah tidak semuanya dapat menjadi pihak pertama yang dapat 'menyelamatkan' nasib para guru honorer tersebut.
Dari sini pula kemudian penulis berpikir bahwa, mengapa harus ada guru honorer jika para calon tenaga didik dapat diregenerasikan melalui sekolah tinggi yang fokus pada pengaplikasian di bidang pendidikan (bukan keilmuan).Â
Ambil contoh Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP). Di situ, kita bisa menemukan calon-calon guru dari keberadaan mahasiswa yang bakal bergelar SPd (sarjana pendidikan). Sehingga, guna memberikan peluang para lulusan tersebut, pastinya perlu adanya jalur penerimaan guru langsung dengan tes sebagai guru, bukan dengan tes CPNS.
Karena, dengan pembuatan jalur terima guru seperti itu, maka, akurasi dalam mendapatkan tenaga didik yang sesuai kebutuhan akan segera terpenuhi dan mereka sudah seharusnya menjadi guru tetap. Karena tesnya akan setara dengan ASN.