Pembuktian. Itulah yang akan dicari oleh setiap orang ketika melihat orang lain menerima atau mendapatkan tanggung jawab ataupun peran. Ini juga berlaku di dunia persepakbolaan. Salah satunya yang terjadi pada praktik pergantian pelatih.
Dewasa ini, melihat klub sepakbola bahkan timnas suatu negara melakukan pergantian pelatih, bukanlah hal yang asing. Bahkan, sudah mulai menjadi kebiasaan bagi klub untuk melakukan pergantian pelatih ketika klub sedang anjlok performanya maupun ketika masa kontrak tidak lagi dapat diperbarui (pelatih/klub tidak memiliki keinginan untuk memperpanjang kontrak).
Jika dulu, pergantian pelatih bisa dominan disebabkan karena masa kontrak habis dan kedua belah pihak tidak sepakat untuk memperpanjang kontrak. Namun, hal ini menjadi kian langka ketika tren saat ini adalah semua klub ingin segera juara. Bukan lagi untuk membangun pndasi kuat sebuah klub, agar dapat menjadi sebuah klub yang stabil.
Inilah faktor yang membuat fenomena pemecatan pelatih seringkali terjadi. Begitu pula pada sistem kontrak yang tak lagi dapat membuat kontrak jangka panjang terhadap pelatih. Adanya target cepat untuk juara, seringkali membuat klub cepat kecewa ketika performa klub tidak kunjung membaik---progresif. Hal ini membuat tekanan besar kepada pelatih dan kemudian juga menjadi tekanan kepada pemain ketika mereka juga sedang berada pada fase penurunan performa.
Sepakbola tidak bisa lepas dari kolektivitas. Ini adalah realitas yang mutlak. Meskipun kita bisa melihat pemain-pemain tertentu menjadi ikon (pemain bintang) di klubnya masing-masing. Namun, mereka juga pasti sangat membutuhkan kesamaan performa dengan pemain-pemain lainnya.
Uniknya, ketika pemain bintang itu menurun, performa klub juga menurun. Imbasnya, pelatih juga akan menerima 'distrust' ketika permasalahan ini tak kunjung teratasi. Di poin ini, performa pelatih tidak lagi hanya berpatok pada bagaimana kehebatan meramu taktik bermain bola, namun juga harus memiliki kemampuan untuk mengelola pemain-pemainnya---termasuk pemain bintangnya.
Begitu kompleks, dan inilah yang seharusnya menjadi perhatian dan pemahaman bagi para penikmat sepakbola dan juga pemilik klub ataupun petinggi federasi sepakbola untuk level timnas dalam memberikan beban kepada pelatih. Termasuk dalam memilih pelatih.
Kita ambil contoh pada kasus MU dan Jose Mourinho.
Siapa yang tidak mengetahui dan mengenal MU dan Jose Mourinho? Manchester United adalah klub Liga Primer Inggris yang sampai saat ini masih menjadi klub tersukses dengan 20 gelar juara Premier League. Begitu pula dengan torehan trofi di kancah Eropa. Sehingga, tidak mengherankan, jika MU memiliki ketenaran dan fanbase yang besar. Tidak hanya di Manchester dan Inggris, namun juga di Eropa dan dunia. Bahkan, di Indonesia fanbase-nya juga besar. Sebesar kehebatan Manchester United.
Namun, sayangnya kebesaran dan kehebatan MU mulai mengikis. Perlahan namun pasti, hal ini terjadi pasca pensiunnya Sir Alex Ferguson sebagai juru taktik di MU. Klub yang bermarkas di Old Trafford Stadium ini harus merelakan keputusan Sir Alex untuk berpisah secara profesional---karena sampai saat ini Sir Alex masih sering terlihat di tribun Old Trafford meski sudah pensiun.
Pasca kepergian manajer (sebutan di Inggris, bukan coach) asal Skotlandia ini kemudian digantikan oleh sesama pelatih asal Britania Raya, yaitu David Moyes. Pelatih yang dikenal identik dengan klub Everton ini merapat ke MU berdasarkan rekomendasi langsung Ferguson ke petinggi klub MU.
Tampuk kepelatihan berada di pundak Moyes, dan langsung disertai dengan pelaksanaan transfer pemain. Pembelian pemain yang menjadi sorotan kala itu adalah Marouanne Fellaini. Pemain asal Belgia ini merapat ke Old Trafford tak lepas dari performanya yang acapkali dianggap sebagai kartu AS di Everton yang sebelumnya dilatih juga oleh David Moyes.
Terjadilah 'duet' kontroversial antara Moyes dan Fellaini. Publik pun menganggap Fellaini akan menjadi anak emas. Uniknya, anak emas ini bukanlah pemain yang memiliki skill mumpuni sekelas Eden Hazard, Mohammed Salah, ataupun Raheem Sterling. Karena, David Moyes juga belum pernah bekerja sama dengan pemain sekaliber Eden Hazard. Sangat beruntung Moyes (ada di MU)!
Namun, mimpi indah Moyes tidak sesuai dengan pembuktian di lapangan. Tidak dapat dianalisis, apa yang menjadikan Moyes tidak mampu membawa MU seperti MU-nya Ferguson. Walau, semua juga akan mahfum terhadap rekam jejak Moyes yang mentok di level klub seperti Everton.
Meski demikian, secara performa, sebenarnya Everton di tangan Moyes saat itu juga kadangkala memberikan kejutan. Â Bahkan, mereka cukup konsisten berada di papan tengah setiap musim. Khususnya di 3-5 musim sebelum akhirnya Moyes 'diseret' ke Old Trafford.Â
Rekam jejak itulah yang pada saat itu sudah dinilai cukup bagus. Apalagi jika melihat Moyes mampu membuat Everton seperti itu (cukup konsisten), maka, dia pasti tidak akan kesulitan untuk meramu taktik di MU. Karena, di MU komposisi pemainnya jauh lebih baik daripada Everton. Betul?
Namun, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa menjadi pelatih juga bukan hanya mampu meramu taktik. Namun juga harus mampu mengelola pemain. Khususnya pemain-pemain bintang dan sok bintang, dan ini terjadi di MU. Suatu hal yang mungkin belum pernah dialami oleh Moyes kala masih berada di klub lamanya. Siapa pula pemain bintang di Everton?
Inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal keruntuhan dinasti kebesaran MU hingga saat ini.
Imbasnya, MU kini menjadi klub yang tidak lagi mampu menggaransi masa kerja pelatih untuk dapat membangun pondasi. Jangankan pondasi, untuk memperhatikan potensi pemain untuk direkrut saja, MU kini semakin bergantung pada faktor kedekatan pelatih dengan pemain.
Ambil contoh, ketika MU berhasil mendaratkan si talenta mantab-betul (mantul) Memphis Depay dari Belanda. Termasuk bonus Daley Blind yang juga pemain timnas Belanda. Apa yang membuat mereka ada di MU? Louis van Gaal.
Pelatih asal Belanda ini datang dan kemudian membawa pemain-pemain Belanda. Termasuk membawa pemain yang cukup dekat dengan mantan pelatih Barcelona itu. Yaitu, Sergio Romero, kiper timnas Argentina.
Artinya, faktor kedekatan pemain-pelatih menjadi andalan MU untuk menjalankan kebijakan transfer. Di sisi lain, ini cukup positif alias menguntungkan. Namun, situasi ini akan lebih condong ke perihal yang tidak menguntungkan. Yaitu, leadership.
Kemampuan pelatih dalam memimpin secara teknis dan non teknis akan sangat menguntungkan bagi permainan dan kondisi klub. Karena, pelatih tidak akan begitu perlu untuk mencari 'jembatan' selain kapten tim. Hal seperti inilah yang dewasa ini semakin kurang terlihat. Karena, seperti Mourinho yang terlihat lebih mengandalkan Nemanja Matic dibandingkan pemain lain di posisi yang sama dalam permainan.Â
Artinya, bisa dianalisis bahwa hanya Matic yang lebih faham pola strategi Mourinho dibanding pemain lain---bahkan kapten tim. Uniknya lagi, Mourinho sudah dua kali bekerja sama dengan Matic selama karir melatihnya di level klub. Yaitu saat di Chelsea di periode keduanya dan saat menjadi manajer Si Setan Merah.
MU kolaps.
Itu yang terlihat ketika kepelatihan Mou semakin terlihat tidak bagus bagi suporter maupun penikmat dan para pengamat---khususnya dalah hal cara bermain. Hal itu yang kemudian menjadi tekanan bagi pemilik klub. Sehingga lahirlah keputusan klub untuk berpisah dengan pelatih asal Portugal itu. (silakan baca artikel ini)
Pasca Mourinho lengser, MU secara berani, menunjuk salah satu mantan pemainnya di masa lalu untuk menjadi caretaker (pelatih sementara). Ole Gunnar Solskjaer. Publik pun kemudian terpecah. Sebagian mengatakan bahwa, "siapa tahu, Ole bisa melatih klub sebagus cara bermainnya saat masih menjadi pemain." Sebagiannya yang lain mengatakan, "siapa Ole?"
Pertanyaan itu bukan karena tidak tahu Ole Gunnar Solskjaer. Melainkan mempertanyakan rekam jejak kepelatihan Solskjaer. Karena, ini MU loh!
Namun, kita bisa sedikit membandingkan dengan eks pemain yang kemudian mampu meraih kesuksesan saat menjadi pelatih. Betul. Zinedine Zidane. Mantan pemain timnas Prancis dan juga Real Madrid ini sukses membawa Real Madrid merengkuh titel juara Liga Champions tiga kali secara beruntun!
Sehingga, tidak ada yang tidak mungkin bagi si pemain legenda untuk dapat menjadi pelatih. Begitu pula pada Solskjaer. Pria Norwegia ini juga diharapkan dapat mengikuti jejak Zidane yang tidak hanya bagus sebagai pemain, namun juga saat menjadi pelatih. Harapan dan kesempatan itupun mulai mampu dijawab oleh Solskjaer ketika masih berstatus sebagai pelatih interim MU.
Rentetan kemenangan terus diraih MU pasca 'beralih nahkoda'. Good job, Ole!
Hasil bagus itu pula yang kemudian mendorong pihak klub untuk mempermanenkan Solskjaer sebagai pelatih MU dan membuat pendukung MU optimis. Ada masa depan untuk MU.
Meski begitu, permanennya Solskjaer akan menjadi wahana pembuktian kepada publik. Benarkah Ole mampu melatih klub sebesar MU dan melatih pemain-pemain bintang?
Dua hal ini biasanya akan menjadi tekanan besar bagi pelatih. Bahkan pelatih sekelas Antonio Conte pada akhirnya tidak mampu bertahan lama di Liga Inggris. Akibat tekanan besar dan minimnya kesempatan untuknya dalam membangun dan mengembangkan klub secara bertahap. Klub harus juara. Itulah yang menjadi tugas pelatih zaman now, dan itu pula yang akan berlaku pada Ole Gunnar Solskjaer.
Permanennya Solskjaer sebagai pelatih MU, pada akhirnya akan membuat beban untuk mengangkat performa MU semakin besar. Karena, MU sudah tidak lagi butuh 'P3K'---seperti sebelumnya, melainkan misi nyata untuk kembali sehat bugar---berada di papan atas.Â
Tidak hanya di kompetisi domestik namun juga di Liga Champions. MU harus kembali berada di atas. Itulah target MU bersama Solskjaer nanti. Yaitu, ketika Solskjaer sudah semakin matang bersama klub sebesar MU dan juga semakin mengenali kehebatan kompetitornya (sesama pelatih) di klub-klub besar lainnya.
Jadi, siapkah Ole berada di posisi Mou?
Tulungagung, 16 April 2019
Deddy Husein S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H